Part 4

404 77 3
                                    


"Jangan seperti landak." Kata Ibu Bimo begitu mobil berhenti di depan pintu gerbang.

Bimo sudah terlalu banyak pikiran tentang sekolah barunya dan dia tidak perlu tambahan tidak penting yang membuatnya repot. Tapi kata-kata ibunya terlalu menarik untuk dilewatkan. "Oke. Kalau ini karena rambutku, putar balik Ma. Kita potong sekarang juga." Hari pertama di sekolah baru di tengah semester yang berjalan. Itu sudah cukup membuat lampu sorot mengarah pada Bimo. Dia tidak ingin rambutnya berkontribusi memperkuat aura lihat-ada-orang-aneh.

Ibunya tertawa, mengacak-acak rambut Bimo sebelum ditepis pelan. "Maksudnya, jangan menutup diri, Bim. Jangan terlalu defensif, meringkuk kayak landak yang durinya mencuat setiap ada yang mendekat. Kamu pasti bisa menemukan sahabat."

Terlalu optimistis. Ini bukan film kartun Disney yang sudah dipermanis agar segalanya berujung pada bahagia selamanya. Bimo tahu cerita lama di sekolahnya akan terulang. Dia akan kembali menjadi bagian tersisih. Yang Bimo bisa lakukan adalah menjalankan taktik supaya perundungan tidak terulang.

"Siap, Bos." Bimo menjulurkan badan, setengah memeluk Ibunya. Tidak ada gunanya berdebat dan membuat Ibunya khawatir di hari pertamanya masuk.

"Semangat." Ibunya tersenyum.

Bimo melambaikan tangan seraya membetulkan letak tali tas selempangnya. Dia menarik napas lalu mengembuskannya pelan. Semoga di tempat ini Bimo bisa menyatu di latar dan tidak terlihat. Pindah sekolah merepotkan dan dia tidak ingin mengulangnya lagi dalam waktu dekat.

Setelah melewati pos satpam dan mengkonfirmasi alasan datang di tengah-tengah jam pelajaran, Bimo diminta untuk ke ruang guru. Dalam perjalanan, Bimo berhenti. Lapangan dan lorong-lorong sekolah lengang. Samar-samar dia mendengar suara guru dari ruang-ruang kelas.

Menjadi anak pindahan di pertengahan semester pasti menarik perhatian murid-murid. Apalagi karena ekosistem dan tatanan bergaul sudah terbentuk dan berjalan otomatis.

"Semoga aku bisa tidak terlihat." Bisik Bimo pada dirinya sendiri. Harapan Bimo cuma satu. Semoga kemunculannya cepat digantikan gosip atau peristiwa lain. Dengan begitu, Bimo bisa menyatu dengan latar belakang dan menjalani kehidupan SMU tanpa gangguan.

"Permisi." Bimo mengetuk pintu ruang tata usaha. Dia melongok.

"Ah, Bimo?" Seorang guru mengalihkan pandang dari komputer lalu mempersilakannya duduk.

Dinding ruang tata usaha dipenuhi dengan berbagai macam piagam penghargaan. Beberapa foto menunjukan gambar murid-murid yang tersenyum lebar sambil menunjukan medali. Sebuah kotak kaca di salah satu sisi dipenuhi dengan berbagai macam piala.

"Bagaimana menurutmu?" Gurunya menangkap perhatian Bimo pada prestasi sekolah. Beliau kelihatan sekali bangga dan berharap Bimo memiliki sentimen yang sama.

Basa-basi.

"Bagus." Bimo mengedik. "Keren."

"Sekolah kita terkenal sebagai institusi yang menyeluruh. Selain prestasi akademik, kita membangun kemampuan sosial yang penting nantinya di dunia nyata."

Dari satu kalimat itu, Bimo gatal untuk berkomentar. Satu, gurunya sudah memakai kata ganti kita. Cepat sekali. Beliau meminta terlalu banyak pada anak yang baru menginjak kaki sekitar satu jam. Dua, penting untuk dunia nyata? Memangnya sekarang Bimo ada di dalam kartun Disney?

"Ada berbagai macam klub," gurunya menunjuk beberapa piagam, "basket, renang, sepak bola, lari, volley, dan bulu tangkis. Baru-baru ini beberapa siswa berinisiatif membentuk klub taekwondo tapi belum sepopuler klub lama."

Bimo mencoba menerka maksud gurunya. Tadinya dia pikir ini cuma formalitas terkait berkas-berkas administrasi. Bimo berharap setelah memberikan map dan menerima brosur, dia bisa langsung diantar ke dalam kelas.

Gurunya masih mempromosikan ekstrakulikuler di sekolah.

"Atau klub terkait seni. Ada tari tradisional dan tari modern. Untuk siswa yang hobi dengan gambar dan prakarya seperti menyulam, membuat keramik, dan jahit menjahit, semuanya tergabung dalam klub kriya."

Sudut-sudut bibir Bimo mulai pegal karena terpaksa tersenyum.

"Sekolah kita juga mengakomodasi klub terkait kegiatan agama. Biasanya anggota klub ini yang menyiapkan perayaan resmi sekolah terkait hari-hari besar agama."

Bimo mengangguk-angguk. Apa lagi yang dia bisa lakukan?

"Jadi... ada yang membuatmu tertarik?"

Ah, ini maksudnya? Bimo meringis. Dia tidak ingin terlibat dengan siapa-siapa. Bergabung dengan klub akan memaksanya beraktifitas dan bergaul. Dia tidak menginginkan itu. Sudah cukup drama yang diterimanya di sekolah lama.

"Mungkin nanti, Pak." Ujar Bimo diplomatis.

Beliau terdiam. Beberapa saat kemudian, beliau kembali bertanya. "Ada yang membuatmu tertarik?"

Lagi-lagi Bimo menjawab,"lihat-lihat dulu, Pak."

"Kalau bisa, secepatnya kamu bergabung dengan klub."

Kening Bimo berkerut. Ini bukan sekadar memintanya untuk aktif.

"Kamu tahu, kenapa sekolah ini sangat mengakomodir siswanya tentang kegiatan ekstrakulikuler?"

Bimo ingin menjawab karena sekolah bingung buang uang tapi sudah jelas itu bukan alasannya. Dia menggeleng.

"Karena sekolah menyakini ketika siswanya didorong ke hal yang positif, maka tendensi untuk melakukan tingkah anarkis akan berkurang. Bisa dibilang itulah penyebab sepanjang sejarah tempat ini berdiri anak-anaknya tidak pernah terlibat tawuran."

Sebentar, jari-jari kaki Bimo bergelung di dalam sepatunya, apa maksud kalimat bersayap ini? Bimo berusaha menanggapinya dengan bercanda. "Tenang saja, Pak. Bapak lihat sendiri saya tidak punya otot."

Beliau hanya menggumam.

"Saya tidak akan aneh-aneh, Pak." Kata Bimo. "Apa perlu saya tes narkoba dan minta keterangan dari kepolisian?"

Gurunya berdeham. "Hal negatif tidak selalu tentang obat terlarang atau miras."

Bimo kehilangan kata-kata. Apa yang membuat gurunya berpikir Bimo punya aspek negatif yang harus diantisipasi?

"Bapak sudah dengar tentang penyebab kamu pindah sekolah."

Bimo seperti disiram air dingin.

"Meski tidak ada larangan cross-dressing dan Bapak mengerti kalau identitas biologis, gender, dan orientasi adalah hal yang berbeda, Bapak mohon pengertian kamu untuk menahan diri. Kamu bisa menyibukkan diri dengan segala fasilitas yang sekolah sediakan. Pilih yang paling menarik buat kamu dan habiskan energi kamu di situ. Jadi kamu tidak punya waktu untuk melakukan yang lain."

Bimo tidak tahu harus menangis atau tertawa. Apakah orang di depannya ini tahu kalau bukan dia yang menyiapkan rok? Apakah orang di depannya ini tahu tentang bisik-bisik dan komentar miring dari sekelilingnya?

Dari ucapan-ucapan beliau, bisa saja gurunya tidak tahu. Mereka mungkin tidak tahu tentang penderitaan Bimo akibat kasak-kusuk yang mengganggunya. Mereka tidak tahu kalau Bimo tertekan. Yang mereka tahu, Bimo memakai rok ke kelas dan menimbulkan kegemparan.

"Jadi remaja memang sulit. Orang dewasa bisa jadi lebih toleran dengan... hal-hal yang berbeda. Tapi tidak dengan anak-anak usia pubertas. Saat ini umumnya siswa mencari identitas lewat berkelompok. Kalau kamu terlalu mencolok, kamu akan menarik perhatian."

Bimo memaksa diri untuk tetap tenang. Dia tidak tahu mana yang lebih buruk. Dikasihani karena jadi korban perundungan pun tidak enak. Suara Bimo sedikit bergetar tapi untungnya tidak terlalu kentara. Gurunya tidak akan tahu kalau baru saja beliau membuatnya sedih.

"Terima kasih atas sarannya, Pak." Bimo tersenyum, "Saya juga berpikir tentang hal yang sama. Sampai lulus nanti, saya tidak akan membuat keributan."

"Semoga begitu." Kata gurunya. Beliau mengulurkan tangan. "Selamat bergabung."

Bimo menjabat tangan gurunya.

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang