Part 11

285 61 2
                                    

Pulang dengan badan remuk seperti ini pasti membuat orang tua khawatir. Bimo harus menemukan alasan yang bagus. Alasan bercanda seperti kepeleset tidak akan mempan untuk ibunya. Tidak masuk akal. Mana ada terpeleset hingga separah ini. Bilang Bimo berkelahi dengan preman bukannya dikasihani, dia malah akan dihukum. Beliau pasti akan mengomeli Bimo sampai dia merasa lebih baik dipukul lagi.

Bimo menghirup napas dalam-dalam. Dia membuka pintu rumah. "Aku pulang."

Tidak ada jawaban.

"Aku pulang," katanya lagi. Kali ini, lebih keras. Televisi di ruang tengah menyala. Dari dapur tercium wangi masakan. Sebagai ibu rumah tangga yang hobi menonton sinetron, Mama lebih senang membeli makan jadi. Kalau sampai ia repot-repot masak, berarti ada tamu penting datang.

"Bim, ganti baju dan cuci tangan," kata Mama. Beliau keluar dari dapur bercelemek. Tangannya mengangkat panci berisi sup panas. Di meja berbagai piring lauk tersedia. "Nanti..., hah, astaga. Kamu kenapa?" Setelah menaruh panci di meja, Mama menghambur kepada Bimo .

Barulah Bimo mengerti.

Ayah pulang.

"Hai, Yah." Bimo melambaikan tangan pada sosok bercelana pendek di sofa. "Kapan pulang?" Bimo berusaha sekasual mungkin. Seolah dia tiap hari pulang dengan baju kotor dan bercak darah. Bimo tidak ingin terlihat gemetaran di depan ayah.

Mama menyeroscos. Beliau memegangi luka-luka Bimo , membuatnya meringis. Sentuhan Mama mengirimkan sengatan sakit. Tanpa sadar, Bimo mengaduh. "Sakit, Ma."

"Siapa? Siapa yang bikin kamu seperti ini?" tanya Mama. Beliau mulai panik.

Ayah berdeham. "Tenang dulu. Bimo , sini, duduk dekat Ayah."

Bimo menurut. Mama menyusul duduk di sebelahnya. Wah, seperti ini rasanya dimarahi. Sensasi baru yang belum pernah dia rasakan membuatnya menahan napas tanpa sadar.

Apakah Ayah akan membentak? Atau, menghukum Bimo ?

Apakah Ayah akan main tangan? Bimo belum pernah berargumen dengan Ayah.

Ayah Bimo pelaut karena itu Bimo jarang bertemu dengannya. Pekerjaan membuat Ayah lebih banyak berlayar di lautan. Tinggal di daratan bisa dihitung dengan jari. Penghasilannya memang besar. Bimo dan Mama bisa hidup dengan nyaman. Rumah besar, baju bagus dan makanan enak. Ini semua hasil keringat Ayah.

Efek negatifnya, ya itu dia. Ayah hanya sebentar tinggal di darat. Setiap kali liburan, Ayah berusaha menebus segalanya dengan membelikan bermacam-macam barang. Mama yang gila belanja melonjak kegirangan. Bimo ? Bimo tidak begitu suka dengan barang yang dibelikan Ayah.

Pernah suatu kali Ayah membelikan Bimo satu perangkat peralatan ilmiah. Bimo terima dengan berat hati, lalu mencobanya sekali agar Ayah senang. Bimo mencampur semua bubuk yang ada di perangkat dengan larutan warna hijau terang dan berharap ada ledakan seperti kembang api. Kalau memang ada ledakan, Bimo bisa membuat bom kecil yang akan dia lempar ke pantat para pengganggu di sekolah.

Tidak ada ledakan. Bubuk-bubuk itu menggumpal membentuk lapisan menjijikkan di permukaan cairan. Hilang sudah semua perasaan ingn tahu Bimo . Semua peralatan itu berakhir di bawah kasur. Bimo tidak tertarik dengan gelas ukur, timbangan, dan segala macam bubuk tidak jelas itu.

Ayah tak putus asa. Lalu, dia membelikan Bimo banyak majalah otomotif. Siapa yang tahu kalau Bimo ternyata calon penguasa otomotif berikutnya. Dengan atraktif, Ayah membuka halaman tengah majalah yang memajang besar-besar mobil sport terbaru berwarna kuning cerah. Bimo takjub. Bukan kepada mobilnya, tetapi pada perempuan yang tidur-tiduran di kap mobil dengan isi dada yang hampir tumpah karena bajunya kesempitan. Melihat Bimo lebih suka memperhatikan model-model seksi di dalamnya, Ayah sesak napas.

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang