Part 6

304 65 2
                                    

Sulit untuk menjadi tak kasat mata ketika fokus semua orang tertuju padamu. Bimo berdiri lebih tegak di depan kelas ketika gurunya memperkenalkan Bimo pada seisi kelas.

"Nama saya Bimo."

"Wah." Obrolan murid-murid kelas bercampur menjadi dengung pelan. Beberapa cewek mulai cekikikan. Cowok-cowok menunjukan tampang setengah tertarik setengah bosan.

"Kenapa pindah sekarang? Waktunya enggak lazim." Seorang anak yang duduk paling depan menatap ingin tahu. "Terpaksa ikut orang tua pindah kerjaan?"

Bimo diam.

Sedetik kemudian, muncul pertanyaan lain. "Asalnya darimana? Sekolah dimana? Sudah... punya pacar belum?"

Seisi kelas tertawa-tawa sambil bersorak heboh.

Bimo tetap diam.

"Kok enggak ngomong? Jangan-jangan belum sikat gigi."

Gurunya menepuk-nepuk meja untuk menghentikan keriuhan. "Sudah-sudah, jangan ribut. Nanti saja kalian bertanya di jam istirahat." Beliau menengok pada Bimo. "Kamu mau duduk dimana?" Beberapa bangku di barisan belakang kelas masih kosong. Salah seorang cowok di barisan tengah melambaikan tangan, menggeser bangkunya. "Di sini saja."

Bimo ragu sesaat lalu memutuskan untuk duduk di sana.

Pelajaran berlanjut. Bimo membuka tas dan mengeluarkan peralatan tulis. Cowok teman sebangkunya, berbisik sembari mengulurkan tangan. "Hei, semoga betah."

"Yeah." Kata Bimo datar.

Kalau orang itu heran, dia tidak menunjukannya secara langsung.

Bimo pura-pura tidak melihat tatapan ingin tahu orang-orang padanya. Dia menutup diri, tidak menunjukan celah apa pun. Perasaan Bimo campur aduk. Sebagian besar pesimis dengan keadaannya sekarang. Bimo tahu ini suasana baik seperti ini cuma sementara dan keadaan buruk akan terulang. Tapi sebagian kecil, setitik harapan samar, berharap kalau akan muncul perbedaan yang membuat hidupnya tidak kembali ke dalam rutinitas menyedihkan.

Pelajaran berakhir. Jam pergantian berbunyi. Seisi kelas bergerak menuju pelajaran olah raga. Cowok-cowok sibuk membuka tas, mengeluarkan kaos dan celana pendek. Mereka mulai membuka kemeja. Beberapa bahkan duluan ganti celana.

"Ih, bisa enggak sih sabar sedikit." Seorang cewek mendecak. "Eksibisnya ditahan semenit dua menit."

"Ah, jangan pur-pura." Bukannya malu, teman sebangku Bimo malah menyeringai. Dia menyibak kemejanya, menampilkan badan cungkring dengan singlet kedodoran. Dengan muka mesum, dia mulai bergaya-gaya. "Diam-diam suka, kan?"

"Jijik." Cewek-cewek menjerit. Mereka lebih cepat keluar kelas. "Ih, amit-amit."

Ada sedikit sengatan sakit saat Bimo melihat interaksi teman sebangkunya dengan cewek-cewek di kelasnya. Bimo ingin tertawa. Bimo ingin bicara sambil saling melemparkan candaan dan ejekan. Tapi... ah, sudahlah. Untuk apa Bimo berharap yang muluk-muluk. Belajar dari pengalaman, dia akan semakin kecewa pada dirinya sendiri kalau bermimpi. Segala hirarki sosial sudah dipetakan dan Bimo ada di dalam kotak yang tidak diinginkan oleh siapa pun.

Bimo menarik kaos dan celananya dari tas.

"Bim, mau kemana?"

"Ganti."

"Oh." Jelas sekali oh yang dimaksud adalah respon standar karena tidak tahu harus bilang apa lagi.

Samar-samar ketika Bimo keluar dari kelas, terdengar obrolan bingung.

"Eh, kenapa dia enggak bareng kita ganti baju di sini?"

"Ya bisa aja malu." Kata yang lain. "Mungkin enggak biasa. Jadi dia agak syok."

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang