Part 17

232 47 4
                                    

Bimo menggantung setelan resmi yang dipilihkan Loveyna di balik pintu. Warna sampanye jelas bukan favoritnya. Loveyna ingin mereka tampil serasi seperti pasangan. Jujur saja, buat Bimo mereka malah lebih mirip anak kembar daripada pasangan. Komentar itu cukup disimpan untuk diri sendiri karena Loveyna pasti akan merepet bila Bimo bilang begitu.

Bimo membanting badannya ke kasur. Cewek dimana-mana sama saja. Meski Loveyna berusaha tampak santai menghadapi prom dan kelihatan tidak peduli, tagihan belanjanya menunjukkan bukti sebaliknya. Bimo yakin sekali tabungan Loveyna berdarah-darah dikuras.

Sedari pulang sekolah diseret ke sana kemari untuk membeli ini itu membuat setiap sendi badan Bimo linu. Untuk pertama kalinya, Bimo merasa ngeri. Masih ada beberapa minggu lagi menuju prom, tetapi riuhnya anak-anak SMU Harapan sudah gila-gilaan.

Bimo bergidik membayangkan seperti apa suasana sekolah di malam Prom. Pasti meriah dan besar-besaran. Tanpa bisa ditahan, Bimo menguap. Badannya butuh tidur. Rasanya, satu dua jam cukup. Badannya bergerak mencari posisi yang nyaman. Pelan-pelan ototnya mulai rileks.

Rrrrr....

Bunyi ponsel membuat Bimo terlonjak dari tidur. Dia mengulurkan tangan mencari-cari. Kantuk hilang sudah. Sembari mencari di bawah lipatan seprai dan bantal, Bimo melirik jam beker di meja belajar. Hm... lama juga rupanya dia tertidur.

Rrrrr....

Di mana sebenarnya ponsel itu?

Kali ini Bimo meraba saku.

Rrrrr....

Ah, ini dia. Ponselnya masih bergetar bergetar. Bimo asal-asalan bangun. Kakinya terbelit selimut hingga keseimbangannya hilang dan....

"Aaa..."

Brak.

"Halo?"

"Mo?"

Bimo mengusap-usap bagian tubuhnya yang terantuk. Selimut biang masalah itu dilemparnya asal-asalan ke pojok. "Ada apa lagi Lo? Apa yang belum kamu beli?"

Untuk orang lain, Bimo berlambat-lambat menjawab telepon. Satu prinsip Bimo tentang panggilan telepon. Kalau memang ada keperluan yang sangat penting dengan Bimo, pasti dia akan terus menelepon hingga Bimo angkat. Minimal si penelepon mengirim pesan teks. Hanya kepada Loveyna saja Bimo tidak bisa begitu. Setiap sel badan badan Bimo melompat begitu tahu cewek itu meneleponnya.

Mengapa Bimo bisa tahu Loveyna yang menelepon?

Karena hanya Loveyna yang punya nada dering berbeda.

"Mo...." Loveyna terisak di ujung sana.

Dada Bimo langsung nyeri. Lebih sakit dibandingkan jatuhnya tadi. "Ya?" Dia benci bila Loveyna sedih apalagi sampai menangis seperti ini.

"Jimi."

Dia lagi!

Bimo menjeduk-jedukkan kepalanya ke rangka kasur. "Lanjutkan." Bimo berusaha keras membuat suaranya santai, terdengar rendah dan tenang. Padahal, dalam hati segala jenis perkakas sudah dia lemparkan ke sosok imajiner Jimi. Orang itu benar-benar mimpi buruk. Namanya saja sudah cukup membuatk Bimo naik darah.

"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tadi aku bertemu dengannya. Dia... oh, Mo. Aku harus bagaimana. Jimi akan...."

Kemarahan Bimo seketika lenyap.

Bimo lebih mengkhawatirkan Loveyna. "Hei, aku ke rumahmu, ya?"

Loveyna membersitkan hidung. "Kalau itu tidak merepotkanmu." Loveyna jarang sekali menangis. Bila Loveyna menangis berarti masalahnya sudah gawat. Itu tandanya ia sudah tidak mampu menampung emosinya.

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang