Arga 02

1.7K 179 4
                                    

Aurora bergeming membuat pria yang baru saja datang memandangnya tak suka. Membosankan, menurutnya.

Sadar akan kebekuan-nya, Aurora kembali berbalik untuk mematikan kompor dan menuang mie ke dalam piring yang sudah tercampur dengan bumbu.

Rangga yang merasa tidak dianggap ada atau lebih tepatnya dibiarkan, merebut mie goreng siap saji di tangan Aurora. Dengan segera gadis itu akan merebutnya kembali tapi sayangnya pergerakan tangan Aurora kalah gesit dengan Rangga.

"Lo mau apa, sih?" Akhirnya Aurora mengeluarkan suara lembutnya, tapi terdengar lelah oleh Rangga.

"Lo ngapain masak mie jam segini? Gue tadi nanya. Lo budek, ya?"

Rangga masih dengan memegang piring berisi mie goreng, ia tinggikan piringnya agar tidak bisa diraih oleh gadis asing di depannya. Terlihat dari Rangga yang tinggi dan Aurora yang pendek, bukan maksud menghina tapi itu kenyataannya.

Tapi, body-nya oke juga.

Aurora mendengus sebelum berucap, "Tante sama om ke bandung, ke makam siapa gue lupa. Berhubung gak ada makanan dan gue laper, gue masak mie karena cuma itu doang yang bisa ngisi perut gue."

Ah, iya. Rangga baru ingat kalau setiap tahun orang tua mereka memang selalu menyempatkan waktu untuk berziarah ke makam Gita, sekali atau dua kali dan itu tidak lebih karena Giovan dan Tara super duper sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Giovan yang sibuk dengan urusan pengadilan, dan Tara yang sibuk memberi perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya dikala Giovan bekerja. Ia tidak mau melewati perkembangan dan pertumbuhan anaknya barang sedetik pun.

"Ditha? Ikut?"

Aurora mengangguk, "Besok weekend, jadi gak masalah kalo dia ikut."

Jika adiknya akan selalu ikut ke pemakaman, jangan harap Rangga akan ikut juga. Bukan karena ia tidak mau bersama sang adik, itu karena ia mungkin sudah bosan merasakan kehadiran Gita yang akan muncul jika Raka datang ke rumahnya.

Entah apa yang membuat Gita selalu membuntuti Raka.

Rangga memberikan piring yang direbutnya tadi, dan tentu saja disambut oleh senyum sumringah milik Aurora.

Mereka sekarang di rumah hanya berdua, Rangga dan Aurora.

Pikiran aneh langsung Rangga buang jauh-jauh kala hinggap sebentar di kepalanya. Pria itu, tidak tau apa yang akan dia lakukan, seperti orang linglung.

Ia diam sedari tadi menunggu Aurora menyelesaikan makan-nya. Aurora yang tidak nyaman dengan kondisi seperti ini mempercepat suapan dan kunyahan-nya.

"Gak usah cepet-cepet, keselek nanti lo. Gue juga yang repot," ujar Rangga datar.

Sebenarnya Rangga hanya ingin menunggu Aurora dan menyuruh gadis itu untuk memijat kakinya yang terkilir karena kecurangan Elang. Berengsek.

Entah kata berengsek ditujukan kepada Elang atau Rangga yang datang hanya karena ada maunya saja.

Rangga mengeluarkan ponselnya yang berdering, tidak ada niatan ingin mengangkat. Beberapa menit kemudian ponselnya bergetar tanda bahwa orang yang sedari mengganggunya mengirim pesan singkat, masih dibiarkan tak ayal dibaca juga olehnya.

From : Alvira

Gue minta maaf soal tadi, seharusnya gue gak nerima untuk dijadiin barang taruhan. Tapi gue gak mau ngeliat kalian berdua besok udah ada di rumah sakit. Kita putus, sekali lagi maaf.

Rangga meletakkan benda pipih berlogo apel gigit itu di atas meja makan, mengusap wajahnya kasar. Hatinya terkoyak, tidak seharusnya ia datang dan menerima tantangan jika tahu Elang akan berbuat hal serendah itu. Ia terpaksa kehilangan gadis-nya karena taruhan.

Arga [Aurora&Rangga]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang