2

1.7K 180 16
                                    

Kira-kira empat setengah tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Pavlov. Pertemuan ini melahirkan kesalahpahaman antara dua orang asing yang dipaksa nasib untuk bertemu.

Sore itu, saat hujan gerimis, aku mengantarkan Vivin ke rumahnya. Awalnya kami berencana jalan-jalan ke taman kota. Tapi karena cuasa mendung, di tengah perjalanan kami memutuskan untuk kembali pulang. Daripada basah. Sebenarnya sayang juga sih. Aku sudah lama-lama dandan rapi, necis, pomet sana-pomet sini, semprot parfum dari leher sampai kaki. Eh ternyata, hujan menghapus segalanya.

“Mampir dulu, An.” Di tengah rintik hujan, Vivin di jok belakang menawarkan sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Sekedar informasi, Vivin tidak pernah sekalipun mengizinkanku untuk apel. Alasannya dia masih bocah, malu katanya kalau harus menjelaskan ke orangtuanya perihal hubungan spesial kami. Padahal kalau kupikir-pikir, dia sudah punya KTP waktu itu. Secara logika, pihak kecamatan tidak akan memberikan KTP secara cuma-cuma pada bocah.

Mendengar itu, spontan aku melirik penampilanku di kaca spion. Sangat. Tampan. “Yakin?” tanyaku, kemudian cengar-cengir tidak jelas. Tentu saja aku hanya menggoda. Siapa juga yang tidak bahagia diundang pacarnya ke rumah?

“Jelas yakinlah. Kalau gak yakin, aku gak mungkin mengajakmu.” Vivin menepuk helmku main-main. Aw, manisnya. Pada akhirnya, aku mengiyakan ajakan Vivin. Aku ingat, sepanjang perjalanan itu aku tidak bisa berhenti tersenyum.

#

Baru melewati pintu rumah Vivin, pandanganku langsung tertuju pada sofa di pojok ruang tamu rumahnya. Atau lebih tepatnya, seseorang yang mendudukinya. Beberapa menit yang lalu aku bahagia karena pacarku mengajakku ke rumah, tapi tiba-tiba perasaan itu musnah begitu saja. Tergantikan dengan rasa kesal yang tidak bisa kujelaskan.

“Dek, temanmu udah nunggu dari tadi.” Ibu Vivin masuk ke ruang tamu, kemudian beliau melihat kehadiranku juga. “Eh, ada tamu.” Aku dipersilahkan duduk di samping teman Vivin. Aduh, benarkah dia hanya ‘teman’ Vivin? Siapa dia? Kenapa teman laki-lakinya boleh ke rumah dan aku tidak?

“Oi, Bro. Udah lama?” Kenyataan bahwa Vivin lebih memilih duduk di samping teman laki-lakinya daripada duduk di sampingku begitu menyakiti egoku.

“Udah. Lo dari boker apa mati suri, Nyet? Lama amat, elah.” Dia memasang wajah bosan yang dibuat-buat. Kulihat Vivin tertawa menanggapi ucapannya. Apanya yang lucu?

“Ok, maaf. Btw, kenalin nih teman gue, Juan. Juan, dia temanku, Pavlov.” Aku tidak tahu kenapa Vivin mengatakan itu. Apa karena ada teman laki-lakinya—yang namanya mirip alien—di sini? Jadi, aku hanya boleh jadi temannya? Ampun, terus dua bulan yang lalu apa namanya kalau bukan jadian?

Teman Vivin mengulurkan tangannya ke depanku. Banci. “Pavlov,” katanya singkat. Aku mengangguk kemudian menjabat uluran tangannya. “Juan.” Dan sepertinya, aku juga banci.

Setelah itu, kami bertiga asyik mengobrol. Ah, tidak. Kalau boleh jujur, Pavlov dan Vivin yang mendominasi pembicaraan. Aku hanya kentang yang kebetulan mampir. Ya, itulah aku.

###

#30DWC #30DWCJilid16 #Day2

Terima kasih sudah membaca, sampai lupa bilang gitu :v

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang