7

1K 134 1
                                    

Beberapa bulan hangout bertiga, akhirnya aku terbiasa begitu saja. Kalau dipikir-pikir ini aneh. Maksudku, dari awal kami tidak diciptakan untuk melengkapi satu sama lain. Harusnya, kami bertiga berasal dari kapal yang berbeda. Tapi entah kenapa tiba-tiba takdir kami labil. Bahkan ketika salah satu tidak hadir, dua orang yang tersisa tidak akan berangkat.

Saat aku mengatakan hal yang sama pada Vivin, lagi-lagi dia tertawa. "Bagus kan, kali aja kita bisa jadi bestfriend forever and ever. Tentu saja, statusku tetap pacarmu tercinta." Katanya kemudian.

Mendengar ucapan Vivin yang terakhir, aku tersenyum. Tapi begitu ingat ucapannya yang pertama, aku kembali menekuk wajah. Anjir. Ide buruk.

"Boleh lah. Terserah." Sayangnya, sekali lagi, siapa yang berani sama pacar galak mirip Vivin? Dimusnahkan baru tahu rasa. Vivin sampai repot-repot membuat grup untuk kami bertiga. Mantab, Pak Eko.

"Eh, pacar lo tuh kemasukan apaan? Kenapa kita bertiga berada di grup yang sama?!" Pavlov sampai repot-repot meneleponku pukul sebelas malam.

"Gue juga gak ngerti. Udah turuti aja. Itung-itung silaturrahmi." Jawabku, bodoh amat dengan keluhan Pavlov. Aku sudah membicarakan hal ini dengan Vivin dan sama sekali tidak membuahkan hasil.

"Yakin lo? Gak cemburu?" Di situasi ini, dia masih saja bisa bergurau. Bagus sekali.

"Lupakan. Gue gak ngerti harus ketawa atau nangis." Tanpa ucapan salam perpisahan, aku menutup telepon sepihak. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Dasar konyol.

###

#30DWC #30DWCJilid16 #Day7

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang