11

1K 146 27
                                    

Liburan datang, kami bertiga ditambah satu teman perempuan Vivin pergi ke puncak. Puncak apa? Puncak gunung yang aman dikunjungi, tentu saja. Bukan puncak Everest apalagi puncak hatimu.

"Jangan tidur lu, awas!" Ancam Vivin, sesaat setelah dia masuk ke mobilnya.

Pavlov yang masuk lebih dulu ke kursi pengemudi langsung berlagak cuek. "Bawel lu. Duduk, diem, gue yang nyetir sampai tujuan kan enak."

"Gak bawel, cuma peringatan. Ini satu-satunya mobil keluarga gue. Inget? Kan gak lucu kalau lu nabrakin mobil pinjeman." Balas Vivin sembari meletakkan barang bawaan kami berempat ke bagasi mobil.

Aku yang diutus duduk menemani Pavlov mengemudi akhirnya berinisiatif memisahkan pertengkaran mereka. "Kita belum berangkat, ngapain ribut sekarang?" Kataku dengan nada bosan.

Vivin mengangguk, kemudian terdiam. Sedangkan Pavlov sama sekali tidak menghiraukan ucapanku. Dia sibuk memanaskan mobil dan pura-pura tidak mendengarkanku. Dasar.

Aku melirik jam tangan, pukul 16.34. Kalau menurut Google Maps, kami akan sampai ke villa kira-kira pukul 20.34. Empat jam perjalanan. Karena yang punya SIM A hanya Pavlov, otomatis yang mengemudi full time adalah Pavlov sendiri.

"Oke berangkat." Kata Pavlov begitu semua  masuk mobil.

Pavlov pun menjalankan mobilnya keluar pekarangan Vivin.

###

Baru dua jam perjalanan, Vivin dan temannya sudah terlelap dalam buaian alam mimpi.

"Gak tidur lu?" Bisik Pavlov sembari melirikku. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Penerangan yang temaram sedikit menciptakan suasana keintiman diantara kami.

Aku menggeleng. "Lu capek?" Tanyaku lagi.

Dia tersenyum, "lumayan."

"Mau berhenti sebentar?" Tawarku. Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mengendarai mobil. Menawarkan diri untuk menggantikan Pavlov menyetir sama saja dengan setor nyawa. Jadi, ya, istirahat sejenak adalah alternatif terbaik untuk kelangsungan hidup kami berempat.

"Nggak usah. Cukup ambilin gue minum kalau lu gak keberatan." Ucap Pavlov. Dia melirik kursi belakang lewat kaca spion, kemudian mengisyaratkan padaku untuk mendekat.

Aku mencomot botol air mineral, buru-buru mendekatkan kepalaku ke arahnya. "Apaan?" Tanyaku, ikut berbisik karena takut Vivin dan temannya bangun gara-gara ulahku.

Lucunya, dia tidak segera meminumnya. Dia mengambil botol air mineral dari tanganku kemudian meletakkannya di atas dasbor. "Gue pengen pegang tangan lu bentar. Diem aja ya." Katanya.

Mendengar kalimat (terlalu) manis miliknya benar-benar membuatku geli. "Langsung pegang aja kenapa, repot amat pakai bilang segala." Kataku, tertawa kecil.

Dia ikut tertawa. "Ok." Bisiknya.

Meski begitu, jantungku jelas sedang bekerja tidak normal. Bukan, aku tidak punya riwayat gagal jantung. Hanya saja ada perasaan aneh tapi menyenangkan yang menggerayangi organ vitalku itu.

Efeknya?

Aku duduk kaku di kursi, mencoba mengalihkan pandanganku ke gelapnya malam. Tapi aku justru gagal fokus karena wajah Pavlov yang memantul di kaca mobil. Bagus. Sepertinya sindrom Pavlovnista baru saja diaktifkan di tubuhku.

Disaat yang sama, bisa kurasakan tangan Pavlov perlahan mendekat ke lututku.

Aku menahan napas, excited sekaligus cemas Vivin akan bangun saat kami melakukan adegan yang tidak pantas di dalam mobilnya. Logikanya, siapa juga yang rela pacar laki-lakinya bermesraan dengan laki-laki lain, di dalam mobil keluarganya pula?

Seandainya ada perempuan yang tetap santai sekalipun pacarnya bertingkah seperti itu, hanya ada dua simpulan; dia fujoshi atau psikopat yang membutuhkan alasan untuk membunuh orang lain.

Begitu tangan Pavlov berada di lututku, spontan aku menggenggam punggung tangannya erat. Dia membalik telapak tangannya, kemudian menyelipkan jari-jarinya di sela-sela jariku.

Debur jantung yang saling berlomba membuat kesiagaan kami memudar.

Tepat saat aku akan membawa tangannya ke bibirku, suara Vivin serasa menjadi petir di siang bolong.

"Kalian ngapain?" Tanyanya, penuh penekanan.

Aku tidak tahu sejak kapan Vivin bangun atau seberapa jauh dia melihat ulah curang kami yang bermain di belakangnya. Yang aku tahu, Pavlov langsung menghempaskan tanganku kemudian menampar pipiku cukup keras.

Anjing, apa-apaan?!

"Ada nyamuk di pipi Juan." Katanya, tertawa gugup.

Ok, mendapat alasan di situasi genting memang mengagumkan. Tapi tidak begitu juga kali! Kalau ditambah bumbu mengorbankan orang lain, namanya bukan mengagumkan lagi tapi biadab. Asem.

Saat ini, aku benar-benar menahan diri untuk tidak menonjok mukanya.

"Nyamuk?" Vivin di belakang masih juga mempertanyakan kebenaran ucapan Pavlov. Duh, kenapa suasananya berubah goblok begini sih?

"Iya. Haha. Tadi si Juan buka kaca mobil, jadi deh nyamuknya pada masuk. Btw, lu kenapa bangun?" Tanya Pavlov, kentara sekali sedang mencoba mengalihkan perhatian.

Aku melirik Vivin lewat kaca spion. Dia yang awalnya duduk kaku perlahan mulai menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Gue gak sengaja bangun." Jawabnya, kembali rileks dan memejamkan mata.

Aku mencondongkan tubuh ke bangku belakang. "Tidur aja dulu, Sayang. Masih kurang separuh perjalanan." Kataku, menepuk-nepuk lutut Vivin pelan. Sekedar membuatnya lekas tidur dan melupakan ulah kami barusan.
Vivin membuka matanya perlahan. "Iya, aku tidur. Kamu temani Pavlov nyetir ya." Balasnya sembari tersenyum.

Melihat senyumnya seketika membuatku merasa sangat bersalah. Aku sebajingan itu ya? Lompat dari satu orang ke orang lainnya tanpa beban. Juan sialan.

Setelah Vivin tidur, aku kembali duduk tenang di kursiku.

Namun, minat untuk mengobrol dengan Pavlov mendadak menguap entah kemana. Dan sepertinya, si Pavlov juga merasakan hal yang sama.

###

Oke, update ini adalah janji yang harus saya tepati kepada seseorang karena dia udah like vidio lomba saya di youtube :v

Btw, terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote dan comment :D

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang