10

1.1K 147 13
                                    

"Gimana? Vivin curiga?" Kata Pavlov, mulai bersandar di bahuku. Aku menghimpitkan punggung ke sandaran dipan, menatap langit-langit.

"Gak tahu." Balasku, tak acuh. Aku melingkarkan lenganku ke lehernya kemudian meliriknya sekilas. Wah, rambut Pavlov lebih panjang dibandingkan saat terakhir kami bertemu. Sejak kejadian di kafe dua minggu yang lalu, kami jarang hangout berdua karena kesibukan masing-masing. Baru hari ini dia memintaku datang ke rumahnya. Aku kangen sekali.

"Gimana lho, lu kan pacarnya? Masa gak ngerti gelagat dia curiga atau gak?" Dia beralih menatapku, mata kami bertemu. Satu detik yang panjang. Aku sampai lupa cara bernapas.

"Kenapa? Ada taik di wajah gue?" Tanyanya, tersenyum miring.

Aku mengangguk. "Ada sesuatu." Kataku.

Dia mengernyitkan dahi bingung. "Apa?" Kemudian, dia menggosok wajahnya sembarang arah dengan dua tangan. Satu tawa kecil lolos dari bibirku. Dia serius menanggapi perkataanku ternyata. Dasar receh, mudah sekali dibohongi.

"Terlalu tampan." Kataku, menghentikan gerakan tangannya. Aku mencium jari itu lembut. Dia mengulurkan tangannya ke samping wajahku kemudian membelai pipiku perlahan. Kenapa kami bisa begitu manis padahal kami bukan apa-apa? Njir.

"Anjay, boleh juga." Ucap Pavlov sembari mendekatkan wajahnya padaku.

Kami berciuman. Ciuman pertama kami.

Dia meletakkan bibirnya ke bibirku.

Yang benar saja. Untuk ukuran laki-laki kenapa bibirnya begitu halus dan kenyal seperti perempuan?

"Tampang lu lumayan." Katanya, jauh sekali dari nada pujian. Aku terkekeh, geli. Jauh kedalam matanya aku menemukan sesuatu.

Gairah.

Dia memiliki gairah yang sama denganku. Gairah yang hanya dipahami oleh kami berdua. Tanpa kata, aku meraih pinggang Pavlov kemudian menariknya mendekat.

Aku menghujamkan ciuman yang cukup dalam ke mulutnya. Dia menggenggam lengan bajuku, semakin lama semakin melemah. Kami terbuai dalam atmosfer memabukkan yang diciptakan nafsu.

Ketika akhirnya kami memutus kontak fisik itu  untuk menghirup oksigen, aku melempar satu senyum simpul ke arahnya.

Tiba-tiba kamar Pavlov menempati urutan pertama dalam daftar destinasi favorit yang wajib dikunjungi milikku. 

Sebulir keringat tampak mengalir di dahinya. Dia tersenyum lebar, membalas senyumanku.

Ah. So damn sexy.

Aku ingin meleleh. Payah.

###

Tapi sebagai tersangka utama jelas aku sadar, selingkuh bukan kisah romantis yang patut dikagumi. Kenyataannya, selingkuh adalah kisah tragis yang patut dibuang dan dilupakan. Sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan karena banyak rugi daripada untungnya. Jangkrik, seharusnya aku mengetahui fakta itu lebih awal.

"Gue di sini." Vivin melambai pelan ke arah seseorang yang baru masuk ke warung bakso langganan kami bertiga.

Diam-diam aku menghembuskan napas panjang. Aku segan menatapnya.

"Lama ya nungguin gue?" Tanya Pavlov sembari tersenyum tipis. Vivin menarik Pavlov untuk duduk di hadapannya.

Aku menepuk-nepuk lututku gugup. Aku ini kenapa? Kok salah tingkah sendiri ya. Padahal Pavlov tampak tenang-tenang saja.

"Yo, Juan." Bahkan dia masih berani menyapaku dengan nada akrab. Berapa lapis sih tameng poker face-nya?

"Yo." Balasku singkat. Demi menghindari kecurigaan Vivin, aku mengabaikan detak jantungku dan mengajak Pavlov berbicara seperti biasa. Tentu saja aku melakukannya dengan perasaan setengah canggung.

Setelah pesanan kami tersaji di atas meja, tanganku dan tangan Vivin tidak sengaja bersentuhan saat mengambil botol kecap yang sama. 

"Kamu duluan, An." Katanya, mempersilahkanku untuk mengambil botol kecapnya lebih dulu.

Sebagai laki-laki, sudah menjadi kebiasaanku untuk mengalah pada perempuan. "Kamu aja." Ucapku, menyerahkan botol kecap ke tangannya.

Vivin membelai punggung tanganku sekilas sebelum mengambil botol kecap itu dari tanganku. "Terima kasih," ucapnya.

Seketika itu, aku merasa sangat bersalah.

Aku melirik Pavlov yang kentara sekali sedang mencoba mengabaikan keintiman kami. Dia pura-pura sibuk dengan baksonya dan enggan menatapku. Mati aku.

"Kalau dipikir-pikir kita jarang hangout bertiga ya akhir-akhir ini." Vivin berbicara di sela kegiatan mengunyahnya.

Lagi-lagi aku melirik Pavlov, bedanya kali ini dia juga membalas lirikanku. Sepertinya kondisi Pavlov sama sepertiku, sama-sama bingung harus menjawab apa.

"Liburan akhir tahun ke puncak, yuk? Nanti kita bisa nginep 1-2 hari di vila. Biar aku ajak satu teman cewek buat sekamar sama aku. Gimana menurutmu, Juan? Pavlov?" Usul Vivin, meminta persetujuan kami berdua.

Aku mengangguk lemah, tidak peduli dengan liburan ke puncak atau teman yang akan dibawa Vivin. Pikiranku penuh dengan Pavlov; apa dia akan marah padaku? Tapi untuk apa? Kami bahkan bukan apa-apa.

"Boleh, lu udah dapat izin dari orangtua?" Timpal Pavlov, menanggapi usulan Vivin. Aku beralih menatapnya.

Dia menatap Vivin, dua detik. Kemudian ganti menatapku, lima detik.

"Udah dong, kan ada lu." Balas Vivin sumringah.

"Oke, tanggal berapa?" Tanya Pavlov, lagi. 

Aku memilih makan dengan tenang dan sengaja tidak masuk ke diskusi mereka. Tiba-tiba tulang keringku ditendang pelan oleh satu kaki kurang kerjaan. Aku menengok ke bawah, mendapati ujung sandal jepit berwarna hijau sedang menggosok kain trainingku. Anjing, si Pavlov apa-apaan?

Aku menatap Pavlov. Dia tampaknya sedang menahan tawa. Meskipun dia bertingkah seolah-olah mendengarkan Vivin, entah mengapa aku merasa dia sedang mengejekku.
Sial.

Aku mengangkat kakiku, kemudian menginjak kakinya main-main. Dia langsung menoleh ke arahku, tertawa.

Berani-beraninya! Dia memang penantang maut.

"Lah, lu kenapa?" Vivin menatap Pavlov heran.

Pavlov masih tertawa geli, meninggalkan mangkok baksonya tak tersentuh. Mau tak mau aku ikut tertawa. Lucu aja melihat tawanya.

"Ada upil di pipi Juan. Hahahaha." Dia jelas sedang membohongi Vivin. Kami berdua tergelak kemudian sama-sama tertawa karena sebab yang tidak jelas.

Vivin semakin bingung. "Terserah dah, kalian gak jelas." Ucapnya kemudian sibuk mengunyah baksonya dan mengabaikan ulah kami.

Di bawah meja, kami menyalurkan perhatian dengan saling menginjak dan sesekali duel jempol kaki.

Tanpa sepengetahuan Vivin, kami saling bertukar senyum. Tipis tapi penuh makna.

###

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa vote dan comment ya :D

Ehm, dan maaf juga updatenya ngaret. Sangat. Ngaret. :v

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang