17

574 105 21
                                    

"Gimana pendapat lu kalau gue ngejar Vivin?" bisik Juan. Pavlov yang sedang memeluk perut Juan di bawah selimut hanya terdiam.

Dia sengaja jauh-jauh datang setelah menerima SMS Juan tentang tragedi kandas hubungannya dengan Vivin. Tapi apa yang dia dapatkan sebagai balasan? Yak, ini dia. Perih.

Bahu Juan yang tidur membelakanginya sedikit naik-turun. Apalagi kalau bukan karena tangis?

Perasaan Pavlov langsung kacau. Dia datang dengan harapan Juan akan mulai meliriknya dan melupakan Vivin. Memang apalagi? Dia juga capek jadi orang ketiga mulu, yang hanya punya setengah hak untuk memiliki. Sayangnya, kenyataan saat ini seakan menunjukkan kepada siapa sejatinya Juan ingin berlabu.

"Apa dia emang se-spesial itu?" tanya Pavlov getir. Dia ingin tahu posisinya di mata Juan.

"Iya," balas Juan cepat. Terlalu cepat. Tanpa pikir panjang dan tanpa pertimbangan matang. Juan mencintai Vivin, dan itu seolah telah menjadi takdir yang otomatis ada. Dia, ya Pavlov, merasa hanya menjadi seonggok daging yang berdiri di tengah. Hanya bisa diam memperhatikan sambil menunggu giliran. Tidak ada yang cukup peduli dengan perasaannya.

Dia menggeser tubuhnya, berhenti memeluk Juan dan tidur terlentang menatap langit-langit. Gelap, dia tadi bahkan sengaja mematikan lampu supaya lebih intim. Apanya. Dia menyesal sudah datang kemari. Seharusnya dia membiarkan Juan sendirian bersama patah hatinya. Percuma. Toh Juan tidak pernah memandangnya sebagai pacar potensial.

Apa ini memang karma karena menggadaikan persahabatannya untuk hal sepele seperti ini?

"Juan," panggil Pavlov tanpa melirik sedikitpun ke arah lawan bicaranya.

"Hm?" gumam Juan pelan. Dia masih setia membelakangi Pavlov. Tidak tertarik dengan apapun.

"Kalau gue jadi lu, gue gak akan pernah ngomong begitu," kata Pavlov. Dia terlanjur sakit hati dengan ucapan Juan yang ingin mengejar Vivin di depannya. "Gue gak akan pernah meremehkan perasaan orang lain. Sekecil apapun itu," lanjutnya datar.

Tidak juga mendapat balasan, Pavlov justru semakin sakit hati karena merasa diabaikan. Tapi toh dia tetap berbicara. "Gue suka sama lu yang suka sama Vivin. Dari awal, posisi gue emang gak menguntungkan. Sekarang kalian putus dan gue datang untuk mengemis balasan perasaan gue ke lu. Terus lu bilang pengen ngejar Vivin. Lah, gue ini siapa sebenarnya? Kalau lu emang cinta mati sama Vivin, kenapa dulu lu gak terang-terangan menolak perasaan gue? Jangan bikin gue nyesel karena bersikap goblok dengan ngejar lu. Gue---" Pavlov tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Kekecewaan yang membabi buta meremukkan segala jenis ketegarannya. "Lu pikir gue udah menahan diri berapa tahun?" lanjutnya sembari susah payah mengabaikan luapan air mata. 

"Gue minta maaf," kata Juan pelan. Dia perlahan dihinggapi perasaan bersalah.

Pavlov menutup mata dengan satu lengannya. Dia tak tahan lagi. "Berhenti minta maaf. Terima gue, cuma itu yang gue butuhin sekarang," ucap Pavlov. Dia akhirnya menangis dalam diam. Semua rentetan kejadian dalam hubungan mereka terlalu menyakitkan baginya.

"Lov," panggil Juan kemudian balik badan dan mencondongkan tubuhnya ke dada Pavlov. "Kita sama-sama salah." 

Bukannya terhibur, Pavlov justru semakin tertekan dengan kalimat Juan. Kalau Juan udah bilang 'salah', hanya ada dua kemungkinan untuk hubungan mereka; putus atau lanjut tapi di bawah bayang-bayang Vivin.

"Sorry for everything," kata Juan kemudian mengecup dahi Pavlov singkat. Perlahan dia mengusap air mata Pavlov dengan punggung tangannya. Kini wajah lesunya tersaingi ekspresi menyedihkan milik Pavlov. "Lu gak usah nangis," kemudian memeluk leher Pavlov erat.

"Gue harus gimana lagi, Juan?" Pavlov meletakkan tangannya di punggung Juan, menunggu sebuah jawaban yang mungkin saja hanya diketahui Juan seorang. Dia menggigit bibir kuat-kuat. Kembali lagi berpegang pada ketegarannya. Percuma menangis. Juan mustahil bersimpati hanya karena tangisannya.

"Beri gue waktu," bisik Juan sembari memejamkan mata putus asa. Hanya ini satu-satunya yang bisa dia berikan pada Pavlov. Sejak putus dari Vivin, hatinya mulai gamang. Dia tidak percaya dengan keputusannya sendiri. Terlalu banyak yang terluka, dan dia tidak ingin menambahkan garam di atas luka seseorang.

"Lu tahu," ucap Pavlov sembari mengusap ingus dengan lengan bajunya. "Lu selalu jadi priotitas gue, apa gue juga bisa jadi prioritas lu? Gue akan kasih waktu selama yang lu mau, kalau lu berniat menjawab iya." Dibelainya kepala Juan lembut. Sesekali menghirup bau rambutnya.

Ditodong pertanyaan demikian, Juan hanya bisa terdiam.

"An?" panggil Pavlov lagi setelah keheningan cukup panjang diantara mereka. "Jadi gue gak punya harapan ya?" katanya sembari menenangkan diri dengan menghirup napas panjang. Dan mengeluarkannya lewat mulut.

Juan masih bergeming.

"Yaudahlah gak perlu dijawab," kata Pavlov sembari mengacak rambut Juan santai. Dia tidak ingin terkesan menekan Juan agar mau menerimanya. Bukan itu. Dia terbiasa memohon, dan biarlah ini menjadi terakhir kalinya. Kalau Juan menolak, Pavlov pastikan dia akan menghilang dari hidup Juan.

Meski bertekad untuk menerima apapun keputusan Juan, dia tidak bisa memungkiri bahwa sebenarnya ada yang patah dalam dirinya. Pelan tapi pasti. Menyisakan ruang kosong bernama kehampaan.

###

Sakit banget nulis part ini :v apa ya, mungkin karena berdiri diantara dua pilihan atau dikecewakan orang lain itu posisi yang bikin sebagian dari kita jadi depresi dadakan :v wkwk

Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca, jangan lupa vote dan comment :v

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang