9

1.1K 150 21
                                    

Pertemuan demi pertemuan berbuntut pada keintiman. Seperti sore ini. Aku mencuri pandang pada wajah Pavlov yang  sedang berbicara. "Mami gue penggemar anjingnya Si Pavlov saat hamil, itu tuh fisiolog dari Rusia yang populer di kalangan psikolog karena teori behavioristiknya. Jadi deh, pas gue lahir, dikasih nama Pavlov." Katanya, sambil memainkan gulali di tangan.

Oh, jadi begitu. Pantas namanya aneh. Untung Pavlov bukan nama anjingnya ya. "Mama lo psikolog?" Tanyaku balik. Kalau Mamanya menyukai hal-hal yang berbau psikologi kemungkinan besar profesinya tidak jauh-jauh dari itu.

"Bukan, dia guru BK." Katanya, nyengir kuda. Kami sedang hangout berdua di kafe langganannya. Dia sengaja membelikanku kopi dan makanan ringan atas balas jasa telah membayar ganti ban bocornya dua bulan yang lalu.

"Lo gak ngajak Vivin?" Tiba-tiba pertanyaan itu lolos dari mulutnya. Setelah dua jam mengobrol kesana-kemari, akhirnya dia sadar juga. Kemana saja dia barusan? Sampai-sampai lupa kalau aku datang sendirian. 

"Biar bisa berduaan lah sama lo." Ucapku, tentu saja dengan nada bercanda. Meskipun, sejujurnya, aku benar-benar bermaksud seperti itu. Aku merasa lebih nyaman mengobrol dengannya saat kami hanya berdua dibandingkan saat kami hangout bersama Vivin.

Dia tergelak. "Lo gak lagi jatuh cinta sama gue kan?" Balasnya, setengah tertawa. Dia jelas menganggap ucapanku sebelumnya hanya gurauan. Aku ikut tertawa. Tanpa tahu apa yang kutertawakan, kenyataan bahwa dia tidak menganggapku serius atau perasaanku yang sedikit terluka dengan ketidakseriusannya.

Begitu tawaku luntur, aku beralih menatap wajahnya lekat. Tawanya renyah, matanya sedikit menyipit, dan yang paling penting adalah semua gestur tubuhnya menunjukkan bahwa dia sedang tertawa. Tidak ada kepalsuan sama sekali dalam tawanya. Sarat kepolosan, ya, kalau dipikir-pikir Pavlov lebih mirip sepupuku yang masih TK. Polos dan tulus. "Woho, Juan? Serius lu lagi jatuh cinta sama gue?" Lanjutnya, masih menggodaku.

Aku hanya tersenyum menanggapi. Aku sudah punya Vivin. Untuk apa aku menyukai orang lain lagi? Kalau untuk kasus Pavlov, aku mungkin sedang mengaguminya. Cukup mengagumi saja. Tidak lebih. Atau nyatanya lebih tapi aku tidak tahu? Entahlah.

Rupanya, bukan hanya aku yang merasakan hal itu. Benar-benar kebetulan yang ganjil. "Tapi, Juan. Entah kenapa, lu tiba-tiba menarik perhatian gue." Bisik Paslov, sembari memainkan cangkir kopinya. Dia sedikit menunduk dan tidak berusaha menatapku. Aku heran di tempat dudukku. Apakah dia sedang salah tingkah? Atau hanya mengerjaiku? Kalau begini, aku jadi bingung. Dia serius atau tidak dengan kata-katanya. Untung kursi di kanan-kiri kami masih kosong. Jadi tidak akan ada orang yang iseng mendengar percapakan kami yang mulai menjurus.

"Lu suka gue?" Balasku, heran. Pasalnya dia tidak pernah melakukan perbuatan apapun yang menunjukkan ketertarikannya padaku. Tidak sepertiku yang seringkali curi-curi pandang, Pavlov bahkan tidak pernah melirikku saat kami duduk berhadapan atau bersebelahan. 

"Belum. Masih tahap mengagumi, mungkin?" Dia tampak tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Kalau ucapan cerminan perasaan, aku menduga perasaan Pavlov masih kabur, abu-abu, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Sama sepertiku. "Gak usah serius-serius amat kali. Lagian lo kan udah sama Vivin, An. Jangan serakah lah." Katanya, mengambil ponsel dari saku kemudian larut dengannya. Dia berhenti membicarakan hal itu.

Awalnya, aku memang tidak berniat meminta balasan atas perasaanku karena aku percaya aku hanya sedang mengaguminya. Namun, begitu tahu dia mempunyai kekaguman yang sama, apalagi yang bisa kulakukan selain serakah? Aku masih menyayangi Vivin, tapi aku merasa hubungan kami akhir-akhir ini berubah membosankan. Aku ingin lebih. Kira-kira bagaimana rasanya berpacaran dengan cowok? Apalagi cowok yang seperti Pavlov. Yang lucu dan apa adanya. Apa akan terasa lebih menarik, atau sebaliknya? Apapun itu, aku ingin mencobanya. Aku memang bajingan.

Aku masih mengamatinya dalam diam ketika Pavlov menurunkan ponselnya, kemudian balas menatapku. "Ada yang salah?" Tanyanya, kelihatan bingung dengan tingkahku yang tidak berhenti menatapnya.

Ide itu akhirnya muncul begitu saja. Aku meraih ponselnya, membuka aplikasi 'note', lalu mengetik satu kalimat yang sedang bersarang di benakku. Setelah itu, kutunjukkan layar ponsel itu ke Pavlov. "Gue tiba-tiba pengen serakah," begitu ketikku. Dia membacanya sebentar, tampak berpikir, kemudian mengernyitkan dahi dalam.

Mendadak suasana diantara kami berubah sunyi. Tidak ada yang bersuara, sekedar tertawa, atau marah. Kami sama-sama terdiam. Aku mulai menyesal, apakah kalimatku menyinggungnya? Dia bahkan membuang gulalinya ke tempat sampah di bawah meja kami tanpa repot-repot menatapku. Mungkin niatku keterlaluan karena memintanya menjadi penghianat bagi sahabatnya. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Kekagumanku pada Pavlov seperti kekagumanku pada Vivin. Aku menginginkan Pavlov sama seperti aku menginginkan Vivin.

"An, Vivin sahabat gue." Ucapnya, kelihatan mulai tidak nyaman. Dia mengetuk meja dengan jarinya. "Dia adalah sahabat terbaik gue. Meskipun gue gak pernah mengatakannya, gue beneran sayang Vivin. She's everything. Orang yang akan gue cari saat gue butuh atau gak butuh orang lain."

Aku tersenyum kecut, berhenti menatapnya, dan meminum cairan hitam pekat di cangkirku. Pahit. Sepahit hatiku yang mulai berdenyut sakit. Ampas. Sepertinya aku tahu arah pembicaraannya. Sebentar lagi mungkin dia akan menolakku mentah-mentah. Dasar. Apa lagi yang kuharapkan? Semuanya sudah terlihat jelas.

"Tapi gue gak bisa bohong. Kehadiran lu terlalu bersinar untuk gak disadari." Bisiknya, yang samar-samar tertangkap indra pendengaranku. Buru-buru aku meletakkan cangkir kopiku kembali. "Tunggu, apa maksud lo nih?" Tanyaku, meminta penjelasan kalimat terakhir Pavlov. Aku ingin berhenti mengartikan ucapannya dengan pikiranku sendiri. Aku ingin Pavlov memberiku pencerahan tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Sayangnya, dia menghendikkan bahu tidak peduli. "Gak tahu." Katanya, sama sekali tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru sibuk menyesap kopi dan sesekali mengunyah roti bakar selai kacang di piringnya. Dia meninggalkanku dengan pikiran yang berkecamuk. Jadi, dia menerimaku atau tidak?

Kehadiranku terlalu bersinar, katanya? Apa mungkin dia sudah menerima perasaanku? Tapi sebelumnya dia bilang Vivin adalah segalanya, sahabat terbaik untuknya. Dia sedang menolak perasaanku?

Ah, entah.

Aku bingung dan ragu. Apa yang Pavlov ingin aku lakukan padanya? Aku ini siapa baginya? Bagaimana seharusnya hubungan kami selanjutnya? Lagi-lagi, jawaban 'entah-entah-entah' memenuhi otakku. Sialnya, Pavlov sama sekali tidak membantu.

###

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote dan comment ya :v

15/1/19

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang