19

707 106 58
                                    

Juan termangu di depan pintu menatap kepergian Pavlov.

Mulut Pavlov telah mengutuknya. Benar juga, seharusnya dia mati. Ada gunanya hidup kalau kerjaannya hanya menyakiti orang lain? Namun, apakah pikiran seperti itu layak menjadi satu-satunya alasan untuk mati? Bagaimanapun, dia masih manusia biasa. Dia punya kebebasan untuk memilih, berbuat baik atau tidak, dan menjadi apapun yang dia inginkan. Meski itu berarti dia harus menyakiti orang lain.

Bukan salahnya juga untuk berpikir logis.

Apa yang bisa diharapkan dari hubungannya dengan Pavlov? Mereka bersama? Apa itu cukup? Selanjutnya bagaimana? Harapan untuk masa depan mereka begitu tipis. Berbeda dengan Vivin. Ok, dia baru tahu ini, sejak awal prioritasnya adalah Vivin. Perempuan itu selalu menawarkan satu hal yang tidak akan pernah ditawarkan Pavlov; harapan masa depan yang normal. Berpacaran, menikah, punya anak, membangun keluarga yang bahagia. Pada akhirnya Juan perlu mengakui bahwa Pavlov hanya selingan menyenangkan dikala hubungannya dan Vivin meredup.

“Ngelamun aja lu.”

Pintu yang dibuka dari luar membuat Juan mengerjapkan mata perlahan. Rupanya, si tamu mengenali gestur salah tingkah Juan.

“Sotoy,” balas Juan, menutupi rasa malunya karena ketahuan melamun pagi-pagi.

“Gak kuliah?” tanya Abimanyu. Dia tetap berdiri di ambang pintu tanpa bermaksud mendekati kasur Juan.

Juan menggeleng. “Kosong,” dustanya. Padahal ada mata kuliah yang dimulai sepuluh menit lagi. Pagi yang payah membuat semangat menuntut ilmunya luntur. Dia ingin tidur seharian dan menenangkan pikirannya.

“Oh,” balas Abimanyu singkat. “Eh, handuk lu barusan gue cuci.” Dia menunjuk tali tambang berdiameter satu senti yang disulap menjadi jemuran massal satu kos.

“Dalam rangka?” balas Juan heran. Kali ini, dia baru sadar kalau handuk yang diberikannya pada Pavlov musnah begitu saja. Dia lupa. Atau lebih tepatnya, tadi perhatiannya tidak berada di hal sepele itu.

“Gue disuruh buang ke tong sampah,” jelas Abimanyu.

Setelah Pavlov berlalu, Abimanyu iseng mengintip ke mana Pavlov akan singgah. Dia selalu tahu mana wajah penghuni reguler mana yang rakyat negara lain. Jadi bukan hal sulit baginya untuk mengetahui status Pavlov hanya tamu dari salah seorang penduduk reguler.

“Oh,” balas Juan, bingung harus menjawab apalagi. Dia bisa menebak siapa tersangka yang sedang dibicarakan Abimanyu. Tebakannya bisa saja salah, namun siapa lagi memang yang mungkin?

“Temen lu?” tanya Abimanyu, mulai penasaran. Teman macam apa yang menyuruh orang lain membuang handuk pinjaman? Apalagi kualitas handuknya medium. Mereka juragan handuk atau apa!

Juan bergumam pelan. “Makasih,” ucapnya, enggan menjawab lebih lanjut.

Sayangnya, Abimanyu menangkap nada enggan itu. Mereka marahan toh, tebaknya dalam hati. Dia sebenarnya agak geli ketika menggunakan kata ‘marahan’ untuk mendeskripsikan konflik antara Juan dan teman cowoknya.

“Temen lu lumayan, boleh gue gebet?” canda Abimanyu, tak sungkan mengobral orientasi seksualnya ke semua penghuni reguler indekos.

“Anjing lu,” balas Juan, memberikan jari tengah. Baru juga putus dengan Pavlov, masa ada yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada sang mantan? ‘Kan, kampret. Iya, benar, hubungan mereka telah berakhir. Tapi seenggaknya beri waktu untuk membuatnya melupakan kenangan tentang Pavlov. Pertama atau kedua, semuanya sama-sama pernah menorehkan kebahagiaan di hati Juan.

Abimanyu terkekeh pelan. “Preferensinya apa?” tanya Abimanyu, merujuk pada orientasi seksual teman Juan yang ditemuinya di kamar mandi tadi. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pavlov & KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang