Hujan sudah mulai reda ketika Gina dan Fanya sampai di kafe dekat rumah mereka. Setelah memarkirkan motornya, Gina menyusul Fanya yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam, lalu bertanya, "Lo mau pesen apa?"
"Lo yang bayar kan?" tanya Fanya. Mereka berdua kini sama-sama memakai jaket dan topi, tapi bedanya adalah rambut Fanya dikuncir satu, sementara Gina tidak.
"Iye, cepetan," jawab Gina.
Fanya melihat-lihat sebentar, lalu berkata, "Hot chocolate sama red velvet-nya satu ya."
"Sama matchalatte satu. Yang anget ya. Makasih." Gina tersenyum, lalu membayar pesanan mereka berdua di kasir. Setelah itu, ia membawa pesanan mereka ke tempat duduk yang sudah terlebih dahulu dibooking Fanya.
"Tumben lo ngajak gue ke kafe. Ada apaan?" tanya Fanya setelah Gina duduk di hadapannya.
"Ya nggak pa-pa, lagian juga kasian gue liat lo stress gitu belajar Kimia sampe pingsan di meja," kekeh Gina sembari mengeluarkan pesanan mereka dari nampan, kemudian menggeser nampannya ke meja lain.
"Ya lo mah enak, pinter, jadinya nggak usah stress-stress. Lah gue?" Fanya menyesap hot chocolate-nya pelan-pelan sambil melihat ke luar jendela.
Gina terkekeh pelan. "Ya nanya ke gue aja kapan-kapan kalo nggak ngerti. Kamar gue kan di seberang kamar lo, Nya. Bukannya harus melewati gunung dan lembah dulu."
"Hmm," jawab Fanya.
"Lain kali kalo udah capek jangan dipaksain. Istirahat dulu aja bentar baru lanjut lagi. Kayak nggak punya kasur aja ampe tidur di meja," lanjut Gina.
"Iya," jawab Fanya lagi.
"Lo kenapa dah? Lagi dapet? Kok bete gitu kayaknya?" tanya Gina sesudah menyadari perubahan mood Fanya. Ya memang sih Fanya biasanya jutek, tapi nggak sejutek dan segalak ini. "Atau lidah lo kebakar gara-gara minum hot chocolate jadinya susah ngomong?"
"Kak," panggil Fanya dan membuat ocehan Gina terhenti. "Lo ... beneran udah punya cowok, ya?"
Gina sedikit terkejut saat mendengar pertanyaan Fanya barusan. Ni anak kok tiba-tiba nanya begini dah? Dia tau dari mana emangnya?
"Dia ... yang kasih lo boneka beruang super gede itu, kan?" lanjut Fanya lagi.
Mulut Gina sedikit ternganga dan dahinya mengerut. "Wait. Why are we talking about this? I mean like, lo tiba-tiba secara random nanyain gini tuh kenapa?"
"Kak, bisa nggak sih jawab aja?" ketus Fanya. "Dia juga, kan, yang anterin lo pas pingsan?"
Mulut Gina kini kembali mengatup dan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena ia ketahuan kalau sudah punya cowok, namun karena diri Ghana yang disebut-sebut oleh Fanya. Gina sudah tidak bertemu cowok itu beberapa hari, dan rasanya, saat seseorang menyebut diri Ghana, ia jadi semakin rindu kepada cowok itu. Gina terdiam sebentar sambil memainkan kesepuluh jarinya yang tertaut di atas meja. Dadanya terasa sedikit sesak saat mengetahui bahwa cowok itu, Ghana, bahkan belum mengirimkannya pesan sampai kepada detik ini. Dengan dirinya yang tidak mengetahui keberadaan Ghana, apakah ia masih bisa disebut sebagai kekasih cowok itu?
"Lo ... liat ya?" tanya Gina setelah beberapa detik terdiam. "Gue bahkan udah nggak liat dia lagi sejak saat itu," lanjut Gina sambil menunduk ke bawah. Gadis itu mengulum bibirnya, kemudian melihat ke arah lain. Ke arah manapun selain ke arah Fanya. Gina lalu tertawa parau. "Yah ... dia ngilang. Dia nggak chat gue, dia nggak telpon gue, dan gue nggak tau dia di mana sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
G : GONE (Sekuel G & G)
Teen FictionTidak ada orang yang menyukai kehilangan. Tidak ada juga orang yang mencintai perpisahan. Tapi jika takdirlah yang memutuskan, apakah kita masih bisa melawan? [Lanjutan dari novel G & G. Untuk lebih mengerti alur cerita, silakan baca novel pertama t...