/10/

882 91 4
                                    

[Video di mulmed tolong diplay ya, biar lebih manteb bacanya :'D)

***

"Gina ... dia bukan anak kandung saya."

Perkataan itu terus-menerus terngiang di kepala Ghana, sampai-sampai rasanya kepala cowok itu ingin pecah. Cowok itu kini tengah berjalan menyusuri koridor UGD dengan pandangan yang kosong. Mata cowok itu sudah memerah. Penjelasan Risa tadi membuat hatinya remuk redam. Ghana tidak tahu lagi kata apa yang dapat mendeskripsikan kondisinya saat ini selain hancur. Berantakan. Tak berbentuk. Putus asa.

"Saya bertemu dengan Handry, ayah Gina, ketika Gina baru berusia tiga bulan. Ibu kandung Gina meninggal tepat setelah ia melahirkan Gina, dan meninggalkan Gina sendirian dengan ayahnya. Handry ... ia orang yang baik. Ia merupakan satu-satunya orang yang ada di sisi saya ketika saya jatuh. Karena setelah saya berpisah dengan Harris pada waktu itu ... saya tidak baik-baik saja. Saya mengalami stress dan trauma berat. Tapi Handry selalu berhasil menolong saya dari keterpurukan itu. Dari situlah saya tahu bahwa Handry merupakan orang yang ditakdirkan untuk saya. Dan satu tahun setelah pernikahan saya, Fanya lahir. Kamu ... pasti mengenalnya, bukan? Dia adik kelas kamu di Taruma Negara."

Semuanya ... ternyata hanya kesalahpahaman belaka. Semuanya ... ternyata hanya sebuah dugaan yang salah. Jika saja Ghana tahu hal ini dari awal, mungkin semuanya akan menjadi berbeda. Mungkin ia tidak akan meninggalkan Gina. Mungkin Gina tidak akan terluka seperti ini. Dan mungkin ia dan Gina masih bersama sampai sekarang.

Tapi sayangnya ... semuanya sudah terjadi. Semua yang sekarang ia sesali. Ghana berulang kali mengutuk dirinya sendiri, menyalahkan ego dan dendamnya yang terlalu besar sehingga ia tidak bisa melihat mana realita yang sesungguhnya. Ghana selalu benci penyesalan, dan sekarang ia harus menghadapi mimpi buruk terbesarnya itu. Semua kata andai bahkan kini berterbangan di udara dan menghimpit oksigen yang seharusnya masuk ke paru-parunya itu. Dada Ghana terasa begitu sesak sehingga menarik napas pun rasanya sangat sulit untuk ia lakukan.

Rasanya, Ghana ingin membanting dan melempar semua barang yang berada di sini sekarang juga. Tapi semua keinginan itu sirna ketika ia melihat seseorang berdiri di hadapannya.

Harris, ayahnya.

Dan di detik itu juga, tetes demi tetes air mata Ghana berjatuhan. Ghana tidak bisa lagi menahan kehancurannya. Ghana tidak bisa lagi berpura-pura bahagia. Meskipun tidak bersuara, tapi tangisan itu merupakan tangisan terhebat yang pernah Ghana keluarkan. Tangisan yang penuh dengan luka. Tangisan yang penuh dengan penyesalan. Dan tangisan yang penuh dengan amarah.

Begitu Harris melihat Ghana tengah berdiri di hadapannya dengan luka memar yang membekas di sana-sini, lelaki itu langsung menghampiri anaknya dan mengusap wajah Ghana. "Kamu baik-baik saja? Kamu kenapa lagi, Nak?"

Ghana masih saja tidak mengeluarkan suara. Cowok itu menatap ayahnya dengan air mata yang terus mengalir, lalu memegang tangan ayahnya yang kini berada di wajahnya. Harris yang sepertinya tersadar akan sesuatu, buru-buru menarik tangannya dari wajah Ghana, takut Ghana mengamuk lagi seperti waktu lalu.

"Ma—maafkan Ayah. Ayah seharusnya—"

"Kenapa Ayah nggak bilang dari dulu?" Ucapan Ghana membuat Harris tersentak. Ghana ... kembali memanggilnya 'Ayah'. Ghana kembali memanggilnya Ayah dengan tatapan mata yang tertuju padanya. Dan bagaikan sebuah mimpi, Harris menatap anaknya itu tak percaya. "Kenapa Ayah nggak jelasin ke Mama kejadian yang sesungguhnya?" Ghana kembali bertanya dengan suara yang bergetar dan membuat Harris bingung. Apa maksud pertanyaan anaknya ini? Apa mungkin Ghana sudah mengetahui cerita yang sesungguhnya? Tapi dari siapa?

G : GONE (Sekuel G & G)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang