Malam ini, kafe rumah sakit tampak lengang. Hanya beberapa pengunjung yang duduk sambil meminum kopi dan teh mereka, selebihnya hanya berlalu-lalang di lobi rumah sakit. Di tengah-tengah kesunyian itu, Ghana mengangkat sedikit pandangannya, melirik wanita yang duduk di hadapannya.
Risa.
Tadi, ketika Ghana hendak kembali ke ruang UGD, ia bertemu dengan Risa di ujung koridor. Wanita yang menggunakan sweater berwarna krem itu lalu mengajak Ghana berbincang di kafe ini. Ghana sebetulnya sedikit kaget ketika Risa memanggil namanya. Ia tidak pernah tahu wanita itu mengenalnya. Tapi berhubung Ghana merasa bahwa memang ada yang harus dibicarakan, Ghana pun menyetujui ajakan Risa itu.
Jadi, di sinilah mereka, dengan kecanggungan yang melingkupi seluruh ruangan. Rintik-rintik hujan membasahi jendela besar kafe, sementara suara lalu-lalang kendaraan terdengar sayup-sayup. Ghana yang telah kembali menunduk itu mengulum bibirnya sebentar, lalu membuka mulutnya, berbicara, "Saya minta maaf untuk apa yang terjadi pada anak Anda."
Risa yang sedang menyesap kopi miliknya langsung terdiam, kemudian menaruh cangkir kopi itu di meja bundar kecil yang menjadi pembatas antara dirinya dan Ghana.
"Semuanya ... memang salah saya," lanjut Ghana lagi. "Kalau saja saya tidak—"
"Ghana," panggil Risa dan membuat Ghana bungkam. "Mencintai seseorang itu bukanlah hal yang salah. Saya tahu kamu pasti merasa sangat menyesal, tapi menyelamatkanmu merupakan keputusan Gina, Nak. Kamu tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri."
"Tapi ...."
"Kita semua pernah menyesali suatu hal, Ghana. Tapi mau bagaimanapun, kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Kita hanya bisa menerima dan mengikhlaskannya," jelas Risa. Wanita itu berhenti sebentar, kemudian menatap Ghana. Setelah menunduk dan menimang-nimang keputusannya, ia akhirnya melanjutkan kata-katanya, "Dan hal itu juga dialami oleh ayah kamu, Ghana. Ayah kamu ... Harris."
Deg.
Ketika mendengar nama ayahnya disebut, jantung Ghana mendadak seperti jatuh ke perut. Tenggorokannya tercekat. Tubuhnya mematung di tempat. Sejujurnya, Ghana belum siap. Meskipun sebenarnya ia sudah menebak bahwa Risa akan membicarakan ini, tapi Ghana tetap saja belum siap. Ia belum siap untuk mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Ia belum siap untuk membongkar lagi kisah lama yang selalu berakhir luka itu.
"Saya ... juga minta maaf atas kejadian yang terjadi 11 tahun lalu itu," lanjut Risa dengan suara yang bergetar.
Rahang Ghana mengeras. Giginya gemeletuk menahan amarah. Matanya bahkan memerah. Ghana membuang pandangannya ke arah lain, lalu berkata, "Saya pulang dulu. Masih ada urusan lain." Ghana lalu bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari kursi. Namun sebelum Ghana melangkah lebih jauh, ucapan Risa membuat kedua kaki Ghana berhenti di tempat.
"Kamu ... selalu ingin mengetahui hal ini, bukan? Rahasia yang disimpan mati-matian oleh ayah kamu, dan yang selalu ditangisi oleh ibu kamu. Iya, kan?" Kalimat Risa berhasil menampar Ghana telak. Dadanya sesak ketika persoalan itu diungkit-ungkit kembali. "Sampai kapan kamu mau begini? Kamu tidak bisa terus-terusan hidup dalam luka dan dendam, Ghana. Setidaknya, kamu harus mengetahui cerita yang sesungguhnya."
Kesal, Ghana pun menarik kembali kursi kayu yang tadi sudah didorongnya untuk masuk ke kolong meja, lalu duduk di kursi tersebut. "Kalau begitu, ceritakan," tegasnya.
Senyum tipis Risa terbit. "Kamu memang mirip seperti ayah kamu," ucapnya sebagai pembuka. Ekspresi Ghana tidak berubah—masih dengan rahang yang mengatup keras. Risa menunduk, baru bercerita, "Saya dan ayah kamu ... kita pernah bersahabat. Dulu, ketika kita duduk di bangku SMA. Persahabatan itu lalu kita lanjutkan hingga ke jenjang kuliah. Persahabatan yang timpang, sebenarnya. Yang satu begitu kaya, sementara yang satu lagi malah sebaliknya. Hingga suatu saat ... ayah kamu dijodohkan. Kamu pasti tahu hal ini. Ia dijodohkan dengan ibumu," Risa berhenti sebentar. Senyum tipisnya perlahan-lahan memudar. "Ayah kamu tidak pernah ingin dijodohkan. Ia bahkan pernah berencana untuk kabur ke luar negeri secara diam-diam di hari pertunangannya. Tapi, saya melarangnya. Kamu tahu apa yang dikatakannya? Dia berkata bahwa dia sudah mencintai gadis lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
G : GONE (Sekuel G & G)
Novela JuvenilTidak ada orang yang menyukai kehilangan. Tidak ada juga orang yang mencintai perpisahan. Tapi jika takdirlah yang memutuskan, apakah kita masih bisa melawan? [Lanjutan dari novel G & G. Untuk lebih mengerti alur cerita, silakan baca novel pertama t...