~Distance #8~

717 34 1
                                    

Sepulang sekolah Saera segera turun dari mobil Ratu. Padahal tadi Satga menyuruhnya untuk pulang lagi bersama Ardit, dan untuk kali ini Saera menolak. Saera gak tau kenapa dirinya sangat takut untuk menemui Ardit setelah kejadian hari itu. Hari dimana Ardit meminum air bekas dirinya. Memang tak ada yang harus ditakuti atau dihindari, mungkin sebagian orang menganggap itu hal yang wajar. Bisa juga itu seseorang yang sudah ditakdirkan untuk kita. Tapi Saera tak ingin kenyataan itu menjadi nyata. Tak ingin!!.

Saera masuk kedalam rumahnya, setelah membuka kunci pintu rumah yang sepi ini. Sepertinya Mamanya lembur hari ini. Saera membuka pintu kamarnya dan membanting dirinya diatas kasur empuknya. Hari ini begitu melelahkan, ditambah pemikiran aneh tentang Ardit yang mengganggu konsentrasi belajarnya.

Setiap hari juga sih, Saera mah emang gak pernah konsen sama belajarnya wkwk.

Saat matanya terpejam bayangana seseorang kembali datang. Seseorang yang sudah lama tak ia temui itu.

"Seandainya elo tau Dam. Gue masih sayang sama lo, walaupun elo udah gak pernah peduli lagi sama gue"

Mata Saera semakin berat, dia membiarkan bayangan Sadam menemani tidurnya lagi. Setelah beberapa hari lalu sempat hilang. Saera juga heran, kenapa ia sulit sekali melupakan Sadam. Dia juga sudah lelah dengan dirinya sendiri. Dengan dirinya yang masih berharap. Berharap sesuatu yang tak pernah memberikan kepastian.

Mungkin bukan kepastian. Tapi memang tak pernah mencintai. Apa seburuk itu??!

Mencintai tanpa dicintai. Menunggu tanpa ditunggu. Memperdulikan tanpa dipedulikan. Ingin bertemu tanpa diinginkan. Semua berjalan berbalik. Semua bertentangan. Kenapa harus bertemu jika kenyataannya dia bukan untuk kita?!.

Kenapa diperkenalkan, jika nantinya akan dilupakan?! Mengapa mencintai jika nantinya akan disakiti?

Penuh pertanyaan diotak Saera, sampai akhirnya tak terasa dirinya sudah berada dialam mimpinya...

✏✏✏

Angin sore meniupkan poni tipis seseorang yang tengah duduk dibangku semen sekolahnya. Jam sekolah sudah setengah jam telah berbunyi tapi siswa SMA Khatulistiwa yang terkenal pintar itu masih berada diarea sekolah.

Menunggu seseorang yang akan memberikan kabar gembira untuknya. Dengan rasa tak sabar cowok itu menunggu.

Kedua kakinya bergerak mengikuti irama detak jantungnya yang terasa berdebar debar. mengurangi rasa gugup dihatinya, kepala menengadah sambil memejamkan kedua matanya.

Tak sampai setengah jam, seorang wanita paruh baya menghampirinya. Ardit—cowok yang menunggunya dari tadi segera bangkit dan menyalimi Bu Heni—orang yang ditunggunya.

"Gimana bu Hasilnya?" tanya Ardit dengan wajah berharap.

"Kamu diterima" Ardit mengusap wajahnya dengan gembira.

Tak sia-sia usahanya setiap hari kali ini.

"Ketua Direktur yang menerima kamu untuk ikut seleksi beasiswa di Australia ingin bertemu dengan kamu besok seusai sekolah. Keberuntungan banget buat kamu karna Mr. Mark, akan kesekolah kita. Sekalian promosi juga katanya" jelas Bu Heni dengan raut wajah bangga.

"Terima kasih bu, karna mau bantu saya untuk usahain semua ini"

"Ini juga berkat kegigihan kamu. Saya senang karena masih ada anak muda seperti kamu yang mau belajar dan mengejar cita-citanya. Saya bangga punya anak murid seperti kamu. Dan saya yakin kedua orang tua kamu pasti merasakan hal yang sama dengan yang saya rasakan sekarang"

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang