Teduh

177 8 3
                                    

Semuanya berawal dari hari di mana ia memberiku kotak bekal beserta isinya. Di mana saat itu aku memang tidak membawa bekal dan maag ku kambuh. Ia juga sempat memarahi ku karena tidak membawa bekal.

"Dimakan" katanya.

"Iya" kata ku.

"Abisin" katanya.

"Iya" kata ku.

Hari itu, kami berada di dalam kereta menuju kota tujuan kami. Kota tujuan kami sama, Yogyakarta. Kami adalah teman sejak SMA, tapi hanya sekadar teman satu sekolah yang saling mengenal. Karena kami diterima di kampus yang sama, akhirnya kami berkomunikasi dan makin kenal.

"Jogja seru ya" katanya.

"Iya" kata ku.

"Apalagi kalo di sana sama orang yang kita sayang" katanya.

"Iya" kata ku. Aku ge-er.

"Dari tadi iya-iya mulu, beneran ngga sih responnya?" tanyanya mulai kesal.

"Iya, beneran" jawab ku.

Walau ia marah ataupun kesal, ia tidak pernah membentak, tutur katanya selalu lembut. Waktu SMA dulu, aku pernah mengobrol dengannya sekali. Dia yang menjabat anggota OSIS memintaku untuk membuat artikel yang akan ditempel di mading. Katanya, dia mendapat rekomendasi dari teman sekelasku.

"Iya nanti nama lo ditulis juga kok. Kalo sampe ngga ditulis, gue yang tanggung jawab"

Aku masih ingat sekali bagaimana caranya berbicara, lembut dan ditambah lagi dia tersenyum, makin membuat diriku merasa teduh. Rasanya beda jika aku mengobrol dengan laki-laki yang lain. Sejak saat itu, aku memanggilnya Si Teduh dan nama aslinya adalah Cakra.

"Cak, makasih ya" kata ku.

"Iya, sama-sama, gue ngga tega liat lo kesakitan gitu" katanya.

"Makasih ya" kata ku.

"Iya, ya ampun sampe dua kali gitu" katanya.

Padahal, ucapan terima kasih yang kedua itu memiliki tujuan yang berbeda dengan yang pertama.

Terima kasih Cakra, sudah membuatku selalu merasa teduh. Terima kasih karena menjadi laki-laki paling lembut setelah ayah.

Kami tiba di stasiun. Cakra membawakan koperku, aku sempat mengambil alih koperku, tapi Cakra mengambilnya lagi. Enak ya jadi laki-laki, rasanya tidak repot jika bepergian jauh, Cakra saja hanya membawa satu tas gunung. Sedangkan aku membawa satu tas punggung, satu koper, dan satu tas jinjing.

Keluar dari stasiun, aku terjekut. Pasalnya, ada temanku di sana, tersenyum dari kejauhan sambil melambaikan tangan ke arah ku. Aku berlari menghampirinya dan langsung memeluknya.

"Lo tau dari mana gue ke Jogja hari ini?" tanyaku antusias.

"Dari Cakra" jawab Reta.

Aneh, aku bahkan baru tau kalau Reta mengenal Cakra dan sebaliknya.

"Ohh" respon ku sambil mengangguk.

Cakra baru tiba di antara aku dan Reta. Dia tersenyum pada Reta dan sebaliknya.

"Hayuk, supir gue udah nunggu" Reta berbalik badan dan berjalan lebih dulu.

"Git" panggil Cakra pelan.

"Kenapa?" tanyaku.

"Jogja indah ya" katanya.

"Iya" kata ku.

"Jogja indah karena ada dia" katanya sambil tersenyum dan menatap punggung Reta.

Runtuh. Aku kira yang dia maksud di kereta tadi itu aku, ternyata bukan. Rasanya aku ingin menertawai diriku sendiri karena terlalu percaya diri.

Tapi bagaimana caranya tertawa ketika bangunan yang baru itu runtuh?

Aku tersenyum atas perkataannya. Lalu aku berkata padanya, "Jogja juga teduh" sambil menatap tepat di kedua matanya.

"Iya, Reta emang bikin merasa teduh banget" katanya sambil tersenyum.

Dan sejak saat itu pula, aku mengakhirinya. Walau aku mengakhirinya, aku tetap menjadikannya sebagai Si Teduh. Si Teduh yang membantuku karena dia tau aku butuh bantuan. Si Teduh yang lembut karena dia tau cara memperlakukan perempuan. Si Teduh yang selalu tersenyum karena dia tau ibadah bisa dilakukan dengan cara yang sederhana.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang