11. Dissipate

1.8K 298 109
                                    

BGM by BGM Maker
Don't forget to play the music!

...

Entah dimulai kapan Levi terbiasa dengan kopi pahit. Sudah lama sekali, sejak manusia dikelompokkan ke dalam dua jenis: penyuka teh atau kopi, Levi tak ragu menjawab "Teh!" (Dengan intonasi berat, namun tetap tenang.) Ternyata oh ternyata, kopi tidaklah buruk, setelah Levi coba-coba dan siap membuka hati. Apa lagi tatkala mengendus aroma pekatnya dalam-dalam, hingga tenggelam. Tak butuh waktu lama perihal mendapat ketenangan. Cocok untuk Levi, sebab beberapa hari belakangan, ia kehilangan waktu bersantai.

Kedatangan Mikasa memang membawa banyak perubahan menyebalkan. Gilanya, Levi tidak keberatan untuk terlibat. Demi Tuhan, Levi malah suka direpoti, padahal ia benci mengurusi hal-hal menguras banyak energi.

Rasa damai ini mengingatkan Levi tentang mimpinya tadi malam. Ia tahu betul mimpi hanyalah bunga tidur. Tidak lebih. Namun, kali ini berbeda. Rasa tenteram tatkala ia berpegangan tangan dengan seorang perempuan di sepanjang jalan tak berujung, pun rasa sakit begitu melihat punggung perempuan itu kian menjauh, amatlah nyata.

Kemungkinan besar tak lebih dari sekadar representasi emosi Levi sendiri tentang hidupnya. Perihal keinginannya untuk terus bersama Mikasa, satu sisi, ada Isabel yang mengharuskan Mikasa untuk pergi. Benar juga. Levi tak perlu berpikir lebih jauh.

Daripada itu, Levi lebih penasaran, siapa pria bertubuh kekar yang mencari Eren tadi? Mengganggu di saat dua pasang kepal tangan pria siap bercengkerama. Keduanya pergi begitu saja; bertingkah lebih dari sekadar kata mencurigakan. Ya, ya, memang seratus persen bukan urusan Levi. Ia hanya tidak pernah bisa memercayai Eren—pria menjengkelkan penuh misteri. Tidak mungkin Eren benar-benar terlibat kegilaan ini, 'kan? 'Kan?

Levi tak henti bersenandika, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Ia tidak menyadari seseorang tengah menelepon. Mungkin sudah yang ke dua ratus kali sejak tadi malam?

Extricate 11 [Dissipate]

.

.

.

[ Frankfrut International Airport, Germany. ]

.

.

Atmosfer asing, namun juga tidak. Sulit menjabarkannya ke dalam bentuk verbal. Sudah bertahun-tahun ia kehilangan minat untuk menginjakkan kaki di tanah ini. Sejak kakeknya meninggal dunia, Jean Kirstein tidak pernah mengunjungi Jerman. Ia kembali hanya untuk menjemput cintanya yang pergi tanpa berpamitan.

Waktu cepat sekali berlalu. Kemarin Jean masih mengandalkan skinny jeans dan t-shirt bermerk Guess khas remaja demi terlihat up to date. Kontras dengan sekarang. Lihatlah kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, tuksedo abu-abu gagah; sepatu oxford hitam mengkilat. Jean menjelma menjadi business man dengan kemaskulinitas-an tak bercelah.

Dalam hitungan lima detik, Jean mendapati mobil mercedes benz s class berwarna merah berhenti tepat satu meter di depan tempatnya berdiri. Hulbert, pamannya yang tinggal di Frankfurt, tadi pagi berkata, Jean akan dijemput oleh supir pribadi keluarga mereka begitu sampai di bandara. Sangat membantu, sejujurnya. Gevelsberg adalah kota yang cukup jauh.

"So, our destination is Fliedner clinic, Mr. Kirstein?" tanya si supir—pria berambut pirang bertopi hitam bernama Nicolo.

Extricate [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang