19. Qualtagh

1.5K 265 122
                                    

BGM by Tido Kang
Don't forget to play the music.

...

"Menurutmu, apakah suatu saat kita bisa bebas bepergian ke mana pun tanpa khawatir?"

Levi meletakkan cangkir berisi teh yang mulai mendingin—lagi-lagi, di atas meja cokelat. Ia menoleh, menatap perempuan yang tengah berdiri di balkon; menengadah di bawah terik swastamita, usai beberapa detik lalu Levi mematung, mendengar pertanyaan tiba-tiba Mikasa.

"Maaf, aku terlalu egois."

"Tidak, bukan egois. Pertanyaanmu sangat masuk akal. Aku pun sedang mencari jawabannya."

Nyenyat agak mengganggu. Dersik rajaklana tidaklah cukup untuk membuat bising, untuk menetralisir keresahan mereka. Atensi Levi kemudian fokus pada sebuket bunga Aster putih cantik, yang tiba-tiba Mikasa letakkan di samping cangkir tehnya. Ia gelisah, darimana Mikasa mendapatkannya?

"Untukmu." Seakan memahami isi hati Levi, Mikasa berinisiatif menjawab. "Tadi siang, aku dan Isabel pergi ke toko bunga. Ia bilang, sesekali perempuan perlu romantis. Kami membelinya untuk pasangan masing-masing. Kau tidak terlalu suka bunga, 'kan? Sepertinya bukan hal spesial mendapat dua buket sekaligus dari wanita berbeda. Lagipula, kau tidak bisa membawanya pulang."

Bersamaan derap langkah pria bersurai gerhana itu terdengar menjauh, memasuki pintu apartemen; Mikasa merasa bodoh. Ia kesulitan mengontrol diri. Seharusnya Mikasa tidak menyudutkan Levi, seharusnya ia paham situasi. Tidak ada yang memaksa untuk tetap tinggal. Sejak awal, ini hasil keputusan egonya pribadi.

Tak berselang lama, Mikasa mendapati Levi tengah meletakkan bunga di sebuah vas tak berwarna. "Ketika aku membawakanmu bunga Aster, aku membeli beberapa vas untuk berjaga-jaga." Levi mengulas senyum amat tipis. Aneh memang, tetapi Mikasa sungguh mengerti maksudnya. "Meski tidak bisa kubawa pulang, aku akan merawatnya setiap hari."

Mikasa lekas mengalihkan pandangan, untuk menghilangkan jejak rautnya yang semakin menyendu. Sadar diri, ia tidak bisa menuntut apa-apa. Keduanya tidak bisa memberitahu dunia bahwa hati mereka saling memiliki. Terlebih, setelah ia bertemu Isabel hari ini. "Aku takut. Bagaimana kalau Isabel tahu? Ia pasti membenciku. Dulu aku memang tidak begitu peduli. Aku tak pernah menyangka kita akan be—" Mikasa terbelalak, keluhannya terbungkam. Hangat dekapan Levi dari belakang, membuat otak Mikasa berhenti berputar.

"Lalu bagaimana denganmu? Kau tidak peduli pada persaanmu sendiri? Atau kau ingin aku pergi lagi?"

"Bukan begitu." Likuid bening menggenang di pelupuk mata Mikasa. Satu sisi ia kini mengerti, cinta adalah bentuk egoisme tertinggi manusia. Sisi lain, Mikasa memiliki belas kasih. Bayangannya dirundung rasa bersalah, bila suatu hari nanti senyum manis Isabel lenyap tak berjejak—karena ulah dirinya.

Levi melepas pelukannya, lantas menarik lengan Mikasa, membuat wajah mereka berhadapan. Setiap kali kedua mata candramawa bertemu, segala kekhawatiran seakan luntur. (Seperti mengandung asam berkorosif tinggi.)

"Ini terdengar payah, tapi aku belum bisa menjanjikan apa pun. Baik masa depan kita, atau masa depanku dengan Isabel. Jika ada secercah jalan, aku pasti akan mengupayakan kita. Jadi, bisakah kau dan aku menikmati waktu? Lupakan siapa dirimu, lupakan siapa diriku. Hanya menjadi kita yang sekarang."

Luluh lagi, seiring hangat embusan napas Levi menerpa kulit wajah Mikasa. Apakah suaranya mengandung magis? Mikasa tidak sadar, wajah mereka sudah tak berjarak. Ketika bibir lembut Levi menyentuh bibirnya, mendadak jantung Mikasa berpacu cepat, sangat cepat. Sesak, menggelitik. Lewat sebuah ciuman, ia bisa merasakan desir-desir segenap perasaan Levi untuknya. Ajaib.

Extricate [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang