24. Kesakitan Baba

1.2K 285 85
                                    

Saya sudah menangis dari ngetik kalimat awal.

Nangis terus sampe akhir. Adek sampe kebungungan 😂😂😂

So, untuk yang lagi diluar rumah, dikeep aja dulu. Yang mau baca, sedia tisu banyak-banyak. Soalnya, mata saya sendiri sampe bengkak 😂😂

Jangan lupa vote dan komennya 😘😘
















###

"Baba minta maaf. Baba nggak becus mengurus dan mendidik kalian." ucapan si baba dari tiga hari yang lalu benar-benar membuat Juna kacau. Kenapa babanya bersikap begitu? Kenapa babanya terus menerus menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi?

Bukan salah babanya kalau Juna memilih jalan seperti ini untuk menemukan jati dirinya sendiri. Ya, dia egois, dia jahat dan dia kelewatan karena hampir membunuh adiknya. Tapi itu bukan salah baba. Juna yang memutuskan apa yang ingin dia lakukan. Bukankah seharusnya Juga juga yang disalahkan dan bertanggung jawab?

Itu sama seperti Luna, pikir Juna menyadari. Babanya memposisikan diri sebagai orang yang bersalah untuk menenangkan hati Juna, untuk membuat Juna bebas mengekspresikan emosinya. Tapi, bagaimana perasaan babanya selama ini? Kenapa babanya melakukan itu?

Padahal Juna sudah siap menerima amarah si baba. Dia siap mempertanggung jawabkan perbuatannya. Lalu, kenapa? Sudah tiga hari ini juga suasana keluarga mereka menjadi dingin. Si baba terus menerus berusaha menghindari Juna maupun Luna.

Sementara rencana yang telah disusun terus berjalan, si baba hanya beberapa kali keliatan. Dia sok sibuk mengurus ini-itu, padahal ada bawahannya yang biasa melakukannya. Keadaan itu bukannya membuat Juna maupun Luna tenang, malah membuat mereka semakin frustasi. Mereka kacau karena satu-satunya orang yang selama ini peduli pada mereka, tiba-tiba menarik diri.

"Iya, mereka sudah pulang dan sampai rumah dengan selamat." Juna mendengar yangti Jeon sedang berteleponan sambil menonton tivi. Juna berjalan tanpa suara, berharap tau siapa yang sedang yangti Jeon telepon. "Ya Allah, Jungkook. Kamu tanya sendiri kalau nggak percaya! Juna dan Luna sudah pulang, sudah makan dan sedang istirahat dikamar mereka. Harus mama fotoin, nih?" omel yangti Jeon, menantang gemas.

Juna menahan napas, gagal meneguk air mineralnya dan memilih berdiri didepan lemari pendingin.

"Iya-iya! Mama tau. Cerewet! Gimana keadaan kamu dan Eunha?" telinga Juna semakin terbuka lebar. Keadaan baba dan bunda? Memangnya baba kenapa?

"Alhamdulillah. Hati kamu sudah tenang? Kamu itu keterlaluan juga. Memarahi anak itu nggak apa-apa, Jungkook. Dipukul sekali-dua kali juga nggak masalah.-" yangti Jeon diam karena ucapannya dipotong dari seberang.

"Iya. Haruskah mama ajak mereka ke teman psikiatermu itu? Siapa namanya? Yolland?" tawar yangti Jeon lagi.

"Enggak, sih. Si Juna cuma sering bengong. Luna yang nangis terus." lapor yangti Jeon.

"Iya. Ambil waktu yang kamu butuh. Mama tau perasaan kamu. Jangan lupa, nak. Ada kebahagiaan hakiki yang menanti kamu diujung jalan." pesan yangti Jeon.

"Waalaikumsalam."

Awalnya Juna ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk menghampiri neneknya itu. Kebetulan, yang ada dirumah hanya ada mereka bertiga.

"Yangti.." panggil Juna pelan, lalu duduk didekat kaki yangti Jeon. Wanita itu tampak terkejut, tapi tersenyum ke arah Juna.

"Kenapa, kak?" sahut beliau lembut.

"Yang telepon tadi, baba, ya?" tanyanya ragu-ragu. Senyum di bibir yangti Jeon mengejang, sebelum kepalanya mengangguk hati-hati. Juna menghela napas, merasa bingung kenapa yangtinya merasa perlu bersikap waspada kepadanya.

Arjuna & Srikandi {√}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang