22

3.1K 212 33
                                    

Dyah menyisir rambutnya dengan pelan sambil menatap pantulan dirinya pada cermin di meja rias. Rambut hitamnya semakin panjang dari sebelum dia menikah. Tebalnya agak berkurang karena rontok setiap hari. Pandangannya bergeser pada kalender yang terletak dimeja rias, samping acrylic lipstiknya. Tinggal sehari lagi, dan dia akan menyambut suaminya pulang dari dinas.

Dyah meletakkan sisir itu, lalu mengganti bathrobe yang dikenakan dengan baju tidur. Tubuhnya begitu terasa letih setelah berada pada pembaringan. Matanya merewang, memikirkan apa yang diucapkan Ara. Benarkah bisa melakukan itu tanpa cinta?. Sebelum pertanyaan itu di jawab, dia harus menanyakan dirinya terlebih dahulu, sudahkah mencintai suaminya?. Bila jawabannya belum, berarti benar yang di katakan wanita itu.

Dyah mengeleng-gelengkan kepalanya. Apa debaran disetiap sentuhan suaminya itu bukan cinta? Lalu disebut apa rindu ini? Kalau rasa kesepian itu terlalu berlebihan. Iya ini rindu, tapi bagaimana kalau suaminya tidak memiliki yang sama dengannya?

"Aaaaaaarrrggg" Bantal dikepalanya berpindah kewajahnya. Keresahannya berakhir dengan dering telepon dimeja samping ranjang. Senyuman terukir ketika melihat Id called si penelpon.

"Halo.. "

"Halo.. Lagi apa, Di? "

"Tiduran.. " sambil tersenyum dan memeluk guling.

"Besok aku pulang"

"Mau di jemput? "

"Enggak usah, tunggu di rumah saja"

"Baiklah.. Mas kok ramai banget disitu, lagi dimana sih? "

"Di klab, anak-anak yang ngajakin. Biasalah, mereka akan merasa rugi kalau enggak morotin bosnya saat kunjungan dinas"

Dyah mengerutkan kening, "Minum? "

"Enggaklah, cuman nemenin aja kok. Sudah ya, jangan tidur malam-malam, estimasi jam 3 siang aku nyampe rumah" Dyah merasa wajahnya sebentar lagi akan berubah warnah seperti udang rebus hanya karena perhatian kecil dari suaminya. Dengan menahan kegembiraan, dibenamkannya wajah pada guling di pelukannya. Hanya perhatian sekecil ini saja membuatnya bahagia, apa benar ini cinta?

"Iya Mas, hati-hati di jalan."

Dyah bernafas lega. Tubuhnya berguling kesamping, meraba bantal yang biasa dipakai Arya tidur. Jantung kembali berdegub, akankah perasaannya terbalas oleh sang suami? Kalau ternyata... Dyah menggeleng-geleng, dia tidak boleh memikirkan hal yang buruk. Tangan kirinya menggetok tempurung kepalanya sendiri.
"Aw.. " konyol sekali kelakuannya.

Mencoba memejamkan mata, tapi tidak bisa menahan senyum sumringahnya dari tadi. Padahal sambungan telepon telah terputus beberapa menit yang lalu. Dyah menendang-nendang kakinya seperti anak abg yang baru jatuh cinta dan pertama kali ditelepon oleh gebetannya.

Kali ini, Dyah membulatkan niat untuk tidur. Setelah berdoa, dia mencoba memejamkan matanya sambil membayangkan betapa hangat pelukan suaminya ketika menjadi pengantar tidur. Wajah tampan suaminya yang berpeluh ketika melakukan kegiatan malam mereka menambah keseksiannya sebagai laki-laki. Sentuhannya yang lembut, ciumannya yang membuat candu, pelukannya yang nyaman. Ah.. Lelakiku, pikirnya. Dyah kembali tersenyum dan tanpa sadar dia tersipu ketika membayangkan suaminya yang tanpa...... Sudahlah, saatnya tidur.
.
.
.
Pagi ini Dyah lebih bersemangat karena akan menyambut suaminya pulang. Sudah seminggu, dan rindu ini pun semakin menumpuk, membutuhkan tempatnya untuk mencurahkan yang membuat sesak didada.

Dyah menanyakan dalam hati, akankah suaminya sama rindu seperti dirinya. Oh sudahlah, nanti akan ada saatnya mereka membahas soal perasaan yang sampai sekarang masih sama-sama meraba. Hubungan mereka sudah baik, hanya ada sedikit ganjalan yang harus dipertegas.

RADEN AYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang