30

4.7K 356 117
                                    

Ara terhempas pada ujung sofa. Pergelangan tangan yang tadi dicengkram Ndoro Putri terlihat memar dikulit putihnya. Meringis menahan nyeri dibadan yang terpelanting dan juga nyeri pada egonya yang terkoyak. "Anakku ingin bermanja dengan ayahnya" rancaunya membela diri. Duduknya dibenahi dengan pose yang sedikit "nakal". Niatnya memang untuk menggoda.

"Alasan, belum tentu itu anak Mas Arya" Dyah melipat tangan didada.

"Masih enggak percaya?" Ara mengibaskan rambut panjangnyake belakang bahu.

"Sebelum ada buktinya, aku enggak akan percaya gitu aja" tangannya beralih menggenggam suaminya," Yuk Mas, makan dulu. Laper nih habis buang tenaga enggak penting." Dyah melenggang pergi meninggalkan Ara yang semakin dongkol.

.

.

.

Arya keluar dari lift direksi dengan keadaan yang kusut, padahal hari masih pagi. Jalannya gontai tak bersemangat seperti memikul puluhan ton di punggungnya.

"Pagi bos" Reno menyapanya saat sudah dalam ruang kerja, sapaan itu hanya dibalas anggukan saja. "Bos, kok kusut gitu. Ada masalah?"

Arya duduk dikursinya tanpa menghiraukan pertanyaan si sekretaris. Tangannya terlipat bertumpu pada meja. Kedua telapak tangannya menutup seluruh wajahnya. Secara keseluruhan penampilannya acak-acakan. Tidak seperti biasanya yang terkesan klimis. Pikirannya yang ruwet membuat moodnya yang sangat buruk.

"Kerjaan apa rumah?"

Arya menurunkan tangannya sampai sebatas bawah mata. "Rumah" kepalanya menuduk sambil meremas rambutnya yang memenag sudah berantakan.

"Mau di re-schedule meetingnya?"

"Iya,sampai minggu depan kalau bisa."

"Baik" Reno mengutak-atik tabletnya beberapa saat. "Oke,sekarang aku mau bicara sebagai teman. Ada masalah apa sampai kusut begitu? Berantem sama mbak Ajeng?"

"Ara"

"Kenapa lagi?"

"Hamil"

"So What, terus kenapa jadi kamu yang kusut? Kamu cemburu?"

Arya mengangkat kepala menatap tajam manik mata orang didepannya. "Hah" tangannya menyugar rambut kering itu,"Yang jadi masalah itu, dia mengakunya itu anakku."

Reno mendelik "What, enggak salah?"

"Itu katanya. Waktu kemarin aku sakit, dia datang kerumah bawa masalah. Dia bilang itu anakku. Kepalaku yang saat itu sudah berat, rasanya seperti tertimpa beban berton-ton lagi. Aku mengelak, bukan cuman sekali. Saat aku akan mengusirnya dari rumah, Dyah sudah kembali dari membeli obat di apotek. Dia mendengar semuanya. "

"Mbak Ajeng marah?"

"Jelas, istri mana yang tidak marah saat ada wanita lain, bahkan orang yang pernah menjadi masa lalu suaminya datang kerumah dan mengaku sedang hamil. Dyah pun begitu."

"Wajahnya tampak kecewa, karena kami sedang menikmati madu pernikahan yang memang terlambat. Kamu tahulah latar belakang kami menikah. Tapi aku tidak sebodoh itu untuk kembali pada mantan. Aku meras sangat terpukul ketika Dyah percaya bahwa itu anakku. Rasanya seperti suami yang gagal membuat istrinya bahagia meski umur pernikahan kami belumlah seberapa. Tapi aku sangat kaget dengan keputusannya."

"Keputusan apa?"

Arya mengangkat kepala, melihat langit-langit ruangannya. Melihat putihnya plafon sebagai alibi menahan air mata. "Dyah menyuruh Ara untuk tinggal seatap dengan kami. Entah apa maksudnya."

"Tunggu-tunggu. Kalau Ara hamil anakmu, kapan kalian ena-ena?"

Arya menyandarkan punggungnya pada empuknya kursi. Tangannya diletakkan pada peganggan tangan disamping kursi. Telapak tangannya menyatu menggantung diantara paha. Sekilas mendongak untuk menghilangkan air mata yang bisa membuat harga dirinya juga ikut luruh, jika saja air itu mengalir menganak sungai dipipinya.

"Ingat waktu kita di Thailand? Kenapa aku sampai ketinggalan pesawat yang seharusnya kita pulang bersama kru?"

"Iya ingat. Jangan bilang malam itu ketemu Ara, lalu kalian ena-ena di Thailand seperti orang yang sedang berbulan madu."

"Aku sedang tidak ingin bercannda, Ren"

Reno terpingkal, tangannya diangkat kedepan dadanya dengan posisi telapak tangan telihat keluar. "Baik bos, kali ini akku serius. Jadi?"

"Waktu kalian lagi turun ke floor saat di klub malam, entah darimana Ara datang. Dia sempat mengajakku untuk sekedar berjalan meninggalkan klub malam itu. Hanya sekedar berbincang katanya. Tapi aku menolak. Setelah itu entahlah,semua terasa kabur. Dan aku terbangun dengan keadaan polosan dan seranjang dengannya. Kalaupun aku ada main sama dia, masa enggak terasa."

" Kalau mabuk, mana tau bos. Tau-tau ya gitu, udah jadi bocah"

"Ck ngawur ah. Aku cuman mau punya anak dari Dyah."

"Loh, bisa jadi bos. Terus kamu yakin itu anakmu?"

"Enggak juga. Tapi aku juga enggak paham dengan apa yang dipikirkan istriku. Dia memang pintar, kamu untuk caranya yang ini aku sama sekali tidak setuju."

"Loh, emangnya nyuruh Ara tinggal disitu cuman keputusan Mbak Ajeng sepihak?" Arya mengangguk," Enggak nanyain pendapatmu?"

"Aku tersudut, Ren"

"Kandungannya berapa bulan? Kalau lebih dari 10 minggu tes dna saja"

"Entahlah, aku merasa Dyah menyembunyikan sesuatu dariku"

"Apa?"

Arya mengangkat bahu," Aku tidak berani menyentuhnya . rasanya tidak sanggup melihat hatinya hancur begitu. Tidak ada juga keberanian untuk mengusap air matanya yang mengalir, meskipun tahu itu gara-gara kelakuanku."

"Harusnya kamu yakinin hati dulu bos. Bener kamu ena-ena apa enggak. Dan Ara juga enggak bisa lama-lama tinggal sama kalian. Ya kecuali kalau dia jajdi istri kedua."

"Aku tidak akan menikah lagi,cukup dengan Dyah. Aku akan berusaha meyakinkannya, biar kembali percaya. Rasanya tidak enak,seperti dicurigai sepanjang hari. Perlakuannya juga lebih acuh,tidak seperti biasanya. Apalagi semalam.

" Kenapa semalam, rebut lagi?"

"Rasanya seperti punya dua istri. Aku sedang membaca buku di ruang tengah yang menghadap kolam renang. Ara datang tak lama setelah aku duduk. Beralibi jika anaknya sedang aku. Iya kalau anakku,kalau bukan?. Aku tentu saja menolak. Tapi dengan cepat dia duduk dipangkuanku dan mengunci leherku dengan sikunya. Hampir saja dia menciumku, aku menyebut nama Dyah berulang kali dihatiku meminta tolong. Tiba-tiba dia datang dan langsung memiting Ara dan melemparnya. Istriku luar biasa. Aku merasa menjadi laki-laki lemah yang butuh perlindungan istri sebehat Dyah." Segaris senyum terbit diwajah Arya saat mencerikaan part Dyah.

"Lalu apa rencanamu?"

"Aku butuh bantuanmu Ren"

RADEN AYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang