24

4K 235 34
                                    

Dyah melangkah keluar gedung untuk menghampiri suaminya yang sudah menunggu diluar. Melihat suaminya yang begitu menawan dengan posisinya berdiri saat ini, mengusir sejenak kebingungannya pada amplop putih itu.

Arya sedang berdiri bersandar pada kap depan mobil. Kaki panjangnya berposisi menyilang menambah kesan seksi pada posturnya, tangannya terlipat didada, rambutnya yang di olesi pomade tadi pagi masih terlihat klimis. Parasnya yang menawan dan bebas bulu sangat terang dipandang ditambah cahaya lampu yang menimpa wajah tampannya.

Dyah takjub, untung itu suaminya. Jadi tidak akan dosa jika dipandang lama-lama. "Silahkan Ndoro" Arya membuka pintu penumpang untuk mempersilahkan istrinya masuk. Dyah tertawa sambil masuk kedalam mobil.

"Kita mau makan dimana? " Tanya Arya yang sedang sibuk memasang sabuk pengaman miliknya.

"Dirumah aja" Kepala Dyah bersandar pada bantalan kursi sambil memandang suami tampannya.

"Kamu kan udah capek, jadi enggak usah masak. Kita makan diluar aja biyar kamu enggak repot. Tadi siang belum makan kan? " Tangan kirinya terulur mengusap kepala istrinya.

Dyah mengerjab, "Enggak mau ah."

Arya memajukan tubuhnya mengecup dahi istrinya, "Kenapa? Aku enggak mau kamu kecapekan. "

"Kalau makan diluar, semua wanita akan melihat dengan mata lapar mereka menikmati ketampananmu" Kedua tangannya terlipat didepan dada dengan gaya ngambek.

Arya tertawa keras, "Sejak kapan kamu perduli dengan itu? "

Dyah mengerutkan keningnya mencari jawaban yang pas dengan isi hatinya.

"Mikirnya lama amat" Sekali lagi, dicium dahi istrinya.

"Sejak.. Sejak Mas Arya terlihat sangat tampan. "

Arya menarik tubuh istrinya dan menghujaninya dengan ciuman dikepala istrinya yang absurd ini. "Ya udah, beli makannya di bungkus aja ya. Biyar aku belinya pake masker deh, jadi enggak ada yang menikmati ketampananku. Gimana? "

Dyah terlihat berfikir sejenak, "Ok. " kepalanya mengangguk-angguk.  "Tapi belinya jangan ditempat yang ada kenangannya sama mantanmu ya."

Arya tak lagi bisa menyembunyikan tawanya. Dia baru sadar kalau istrinya juga mempunyai sisi lain. Dan ini dia, absurd. Ada lagi, manja. Ternyata bahagia itu sesederhana ini. Tidak butuh sesuatu yang berlebihan. Tapi cukup membuat hati riang. Jujur, Arya bukanlah tipe pria romantis yang bisa merangkai kata dalam bait-bait untuk merayu perempuan. Dia malah cenderung dingin dan protektif. Bukan juga yang bisa membuat ide kejutan romantis, karena dia tipe spontan.

Dulu saat bersama Ara, rasanya tidak seperti ini. Mereka sama-sama sibuk, tapi Ara yang sudah menempel padanya membuat sedikit repot dengan segala tuntutannya. Maklum, Ara anak satu-satunya dan bersifat manja. Keras kepala, dan kadang juga kekanak-kanakan. Pejuang tangguh yang akhirnya bisa meluluhkan hati Arya untuk menerima cintanya. Dan melepasnya semudah menggunting ujung kuku yang memanjang. Kala itu.
.
.
.

Dyah masih terpikirkan amplop putih itu. Siapa yang menaruhnya? Apa maksudnya?. Wajahnya terlihat sayu karena kelelahan. Rambutnya kian hari makin banyak pula yang rontok. Wajah suaminya terpantul dari cermin di depannya. Kecupannya dikepala membuat Dyah memejamkan mata.

"Sayang, tidur yuk. Kamu terlihat kelelahan. "

Arya menuntun Dyah menuju ranjang. Dibaringkan tubuh istrinya dan menarik slimut sampai sebatas dada. Arya juga mengistirahatkan tubuhnya disamping sang istri. Didekap tubuh istrinya dan mengusap punggungnya.

"Di"

"Hmm" Dyah menghirup aroma tubuh suaminya.

"Aku mencintaimu"

RADEN AYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang