25

4K 246 57
                                    

Arya tersenyum "Tidak apa-apa sayang" tangannya mengusap dahi istrinya dan mengecup sekilas "Aku hanya kelelahan, karena tadi meeting maraton. Temenin ke kamar yuk. "

Dyah menyambut tangan suaminya untuk digandeng. Wajah lelah suaminya membuat hatinya trenyuh. Orang yang dulunya sangat dingin dan bahkan enggan untuk menatapnya, sekarang banting tulang untuk kenyamanan hidupnya. Seperti mimpi, mimpi yang indah. Tapi ini kenyataan, dan bolehkah Dyah berharap ini tidak akan pernah usai?. Tanpa sadar tangannya mengusap lengan suaminya sambil tersenyum. "Kenapa sayang? " Dyah menggeleng,  dan menyandarkan kepala pada lengan suaminya sambil tersenyum.

"Mas, mau mandi air hangat? " Arya mengangguk. Dyah segera masuk kamar mandi untuk menyiapkan air. Arya masih menatap punggung istrinya sampai hilang ditelan pintu, senyumnya pias seketika. Kedua tangannya meremas rambutnya sambil memejamkan mata. Kepalanya bersandar pada ranjang, satu tangannya memegang dadanya. Tidak, dia tidak akan tega menjadi penyebab musnahnya senyum di wajah istri cantiknya itu.

"Mas, kok malah ngelamun. Yuk mandi. "

Arya berdiri, dagu istrinya diangkat dengan jari telunjuknya dan menipiskan jarak keduanya, "Ngajak mandi ya? "

Dyah memberengut "Aku sudah mandi."

"Yuk. Kan tadi ngajakin. "

"Enggak. "

Tanpa bicara lagi, Arya menggendong tubuh istrinya ala bridel style, "Akh, mas turunin" rancauan Dyah tidak lagi didengar Arya.

Keduanya berhenti di bawah shower. Arya menurunkan istrinya. Mereka basah dalam guyuran air yang diturunkan shower. Arya semakin merapatkan tubuh keistrinya.

Tubuh Dyah yang langsing terhimpit antara dinding kamar mandi dan tubuh menawan suaminya. Tangannya terkunci disamping kepalanya, kepalanya mendongak menatap mata suaminya. Entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah bersatu dalam basahnya air dari atas kepala.

Entah kenapa, Dyah merasa bahwa gairah suaminya sedang meledak-ledak. Ciumannya terasa menuntut dan keras. Cengkeraman di pergelangan tangannya terasa sangat kuat.

"Aku mencintaimu, apapun yang terjadi ku mohon jangan tinggalkan aku" Dyah tak ingin menyembunyikan rona di wajahnya, walau lampunya tidak terlalu terang, tapi Dyah yakin suaminya akan melihat semburat diwajahnya.

Dan dinginnya air yang mengguyur tubuh keduanya tidak menghalangi panasnya kegiatan mereka.

.
.
.

Brak..

Pintu ruang kerja terbuka dengan kasar menampakan sosok cantik yang menjulang.

Arya hanya melihat sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya. Reno sedang kebawah untuk fotokopi beberapa berkas.

"Mas, kamu tidak bisa terus-menerus mendiami aku. Perutku akan terus membuncit, dan semua orang akan mengetahuinya. Ambil sikap, jangan seperti pengecut. "

Kata terakhir dari Ara, membuat Arya mendongak. "Apa maumu? "

Ara tersenyum sinis, tangan mulusnya menarik kursi di depan meja Arya, "Nikahi aku Mas. "

"Tidak mungkin. Jika memang itu anakku, aku mau menanggung hidupnya setelah lahir. "

"Kamu harus menikahiku. Tidak bisa seenaknya seperti itu. Aku bukan pabrik yang cuman melahirkan anakmu. "

"Bahkan aku  tidak ingat, pernah seenak itu denganmu. "

"Aku akan memberitahu ndoro putrimu, kalau aku hamil anak dari suaminya. Coba kau bayangkan. Ndoro putrimu yang cantik lembut gemulai itu akan shok, lalu memin cerai darimu. Dan kita bisa bersama lagi, Mas. Aku tahu kau masih mencintaiku, dan aku pun sama. "

"Jangan pernah kau temui istriku, jangan. Dan dia tidak akan pergi meninggalkanku. "

"Kamu kenal aku dengan baik, Mas. Dan kami juga paham, senekat apa aku. "

Ara melenggang cantik menuju pintu, sebelum menutup pintu dia memutar kepala kebelakang, "Nantikan kejutan dariku" Ara menutup pintu dibelakangnya dengan keras. Debumannya tidak mengalahkan debaran kencang jantung Arya yang saat ini melompat-lompat.

RADEN AYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang