5. Sahabat atau Tahta

24 5 0
                                    


          Sebangun tidur Deva meraba secercah kertas di meja samping tempat tidurnya, saat ingin mengambil handphone. Di bacanya sebuah surat dari ibu yang berpamitan keluar kota karena ada pekerjaan yang mendadak dan memaksanya untuk pergi dini hari. Deva sedikit merasa sedih, namun ia merasa bahwa dirinya sudah bukan lagi anak kecil, meski memang ia merindukan masa kanak-kanaknya.

"aku rindu bisa bersama ibu" gumamnya merintih dengan air mata yang menetes perlahan.

       Mengingat kejadian semalam, Deva menjadi kurang tenang karena sudah banyak yang berencana membunuhnya, dan hampir semua kelompok mengincar kelompok 10, seperti perkataan Rasando saat pertemuan server di dunia Rasando malam itu setelah Deva mandi dan membersihkan sisa darah di telapak tangannya.

"aku sudah melihat siapa calon pemenang di sini, yaaa mungkin memang pada awalnya kelompok yang paling aku ragukan, mungkin jika ada yang bisa membunuh kelompok itu, maka akan dengan mudah juga memenangkan permainan ini," ujar Rasando

"kelompok berapa Rasando? Kelompok berapa yang kau anggap unggul ha?" tanya server kelompok 1 dengan angkuh.

"kelompok 10," jawab singkat Rasando.

Mengingat perbincangan yang para server lakukan, membuat Deva menjadi semakin berhati-hati, meskipun semua tidak saling mengetahui wajah musuh, namun pastinya semua kelompok akan berusaha melacak keberadaan Deva dan teman-temannya.
 
        Setelah mandi dan sarapan, Deva menerima panggilan telfon dari ibunya, "Dev, ibu cuma bisa nyediain makanan buat pagi doang, tapi ibu udah nyediain uang di loker ya, itu buat biaya kamu seminggu, selama ibu pergi," katanya dalam telfon.
 
         Deva memiliki seorang sahabat bernama Heri yang kebetulan kenal dari SMP. Ia merasa bosan di rumah, dan pastinya ia juga akan kelaparan jika berdiam diri. Menjelang siang sekitar pukul 10.30 Deva mengajak Heri untuk pergi mencari makan dan bermain timezone di mall dekat daerah rumahnya, meski harus naik angkot terlebih dahulu.

Deva tidak ingin bergantung kepada teman-teman satu timnya, ia ingin bebas pergi kemana saja tanpa harus di buntuti, dan ia memilih Heri untuk menghabiskan waktu sehari penuh bersamanya.

"her, ke timezone yok, seperti biasa lah gue sendirian di rumah," ajak Deva melalu panggilan telfon.

"ayo deh, gue mandi abis itu ke rumah lu, udah lama juga gue ga main sama lu" jawab Heri.

         Pertemuan mereka setelah beberapa waktu tidak bertemu, menjadi pertemuan yang membuat canggung, meski itu hanya di rasakan Heri. Sesampai Heri di rumah Deva, alat server miliknya berbunyi yang menandakan ada pemilik alat di sekitar, dan menurut radar yang terhubung adalah alat server kelompok 10 berada di dekat Heri.

"hmmmm, sorry Dev," gumam Heri dengan mengepal tangannya.

"yok Her," ajak Deva sembari membenarkan jamnya.

"kenapa cuma alat gue yang bunyi, kalo dia pemilik seharusnya alatnya juga bunyi, dan gue mendengar itu seharusnya juga sekarang gue bisa membunhnya, atau bisa saling membunuh, apa ini sebuah ilusi dari kelompok lain lagi, ah tapi kita sahabat ga mungkin saling membunuh, ah tapi dengan membunuh kelompok 10  gue bisa lebih gampang menang, ahhhh" fikir Heri penuh emosi dan rasa labil.
      
       Di sebuah mall tepatnya di tempat game yang biasa di sebut timezone, Deva dengan Heri sedang bermain motor-motoran yang diam di tempat dan dapat di umpamakan seperti naik odong-odong, bedanya biaya mainan ini lebih mahal ketimbang odong-odong. Bermain hingga saldo di kartu Deva habis, mereka mencari sebuah tempat makan, untuk mengisi perutnya setelah bermain cukup lama.
   
       Baru saja Deva memilih meja tempat makan dengan, teman satu timnya sudah berada di sebelah meja Deva, sembari melirik dan memberi sinyal bahaya, yang tidak disadari Deva melalui bahasa isyarat, sebab Deva pun tidak membawa alat server miliknya.

"Her, gue ke toilet dulu yak," kata Deva dengan memegang perutnya berekspresi mules.

Tiga orang tim kelompok 10 menetap di meja untuk mengawasi gerak gerik Heri, meski pun ia masih terlihat begitu santai memainkan ponselnya seolah-olah melupakan sekitarnya. Sedangkan Dean menghampiri Deva yang berada di toilet.

"Dev, lu harus Hati-hati karena sahabat lu itu salah satu pemain dalam game, bahkan gue bisa ngeliat dia itu server," ujar Dean dengan panik

"dari mana lu tau? Dia seorang pemain dan dia Server," tanya Deva penuh rasa ketidak percayaan.

"Dev, percaya sama gue, alat gue, Harry, Doni, Riko semuanya bahkan alat lu juga pasti ngasih tau, sekarang gue tanya sama lu. Di mana alat lu?" ujar Dean emosinya memuncak dan perasaan panik

"anjirrr, alat gue di rumah," jawab Deva sembari menepok jidatnya.

"kan, gue curiga ini siasat dia, dia tau kalo lu seorang pemain bahkan lu dan kita sebagai anggota tim lu di mana posisi kita menjadi incaran banyak pemain lainnya, ga ada pilihan lain Dev, lu harus balik ke rumah lu pastiin semuanya aman," Kata Dean pandanganya menatap cermin di toilet.
  
        Saat mereka berdua keluar dari toilet, keadaan di luar sudah ricuh seperti banyak kerusakan terjadi, terdengar suara teriakan Rio seperti amarahnya yang memuncak, dan terdengar jelas suara bantingan-bantingan tubuh seseorang ke lantai bahkan terdengar pula suara-suara bantingan mengarah ke kaca di sekitar, hingga ke meja-meja.
     
        Makin riuh suasana, makin tidak jelas dari mana asalnya, orang-orang di sekitar berlarian seperti ada ancaman yang memang membahayakan, saat banyak orang berlarian menuju ke arah pintu darurat, ada dua orang berlari menuju arah berlawanan, dan sempatnya menengok dan menatap sinis Deva.

Terimakasi
Btw, masih awam.. Maklum

DEATH SERVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang