Chapter Four: Lelah

456 85 27
                                    

Satu jam lalu kereta mulai meninggalkan Stasiun Gambir. Satu jam lalu Galena bingung karena belum mengenal siapa-siapa untuk diajak duduk dalam satu kursi yang sama. Satu jam lalu Galena melirik Angga, teman sekelasnya, untuk duduk di sebelahnya. Satu jam lalu Angga menggeleng dan meminta maaf karena Gibran telah lebih dulu mengajaknya. Satu jam lalu Galena menghela napas sembari menyesali kenapa terlalu takut untuk berkenalan dengan orang lain. Satu jam lalu Garnetio melihat Galena kebingungan. Satu jam lalu Garnetio memanggil nama gadis itu sok akrab dan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong. Satu jam lalu Galena tidak punya pilihan lain selain duduk di sana.

Banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu satu jam. Satu jam duduk dengan Tio benar-benar membuat Galena hampir gila. Berbagai pertanyaan dilontarkan Tio dari mulai Galena alergi apa, sampai "man rabbuka?" yang artinya "siapa tuhanmu?" yang biasa ditanyakan malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Aneh? Ya jelas.

Tiap detik duduk bersama Tio bikin Galena selalu mikir. Mikirin seberapa bego dia karena mau duduk di sebelah Tio. Padahal dari awal ketemu aja Galena udah kepalang sebel liat Tio. Genit, caper, ajaib. Tiga kata yang pas banget buat mendeskripsikan seorang Garnetio Prasetya.

Tapi kenapa sekarang harus terjebak selama delapan jam perjalanan Jakarta-Jogjakarta bersama manusia macam Tio begini?

Galena kemudian berusaha tidur biar nggak ditanyain Tio macem-macem lagi.

Sewaktu bangun, Galena menyadari kalau sekarang sudah masuk pukul sembilan malam. Selain itu, Galena juga menyadari kalau ia terbangun dengan keadaan kepalanya yang berada di pundak Tio. Kenapa sih? Berotasinya ke Tio terus?

"Eh, udah bangun," Tio sedikit tersenyum. "Met malem, Len."

"Kok gue tiba-tiba nyender ke lu?" Ujar Galena sembari menyesal telah tertidur. Padahal tadi niatnya mau ngilangin stress, tapi ini malah tambah stress kalo jadinya begini.

"Kok tanya gua? Tanya diri lu sendiri coba, Len, kenapa seenaknya nyender-nyender di pundak orang?"

Galena menatap sinis Tio. "Harusnya lo bangunin gue tadi."

"Tapi enak, Len, disenderin. Hehe." Katanya dengan nada menyebalkan sembari membuka bungkusan cheetos di tangannya.

Galena mengerutkan alisnya tanda marah. "Enak?"

"Enak dikit, pegelnya banyak. Kepala lu berat ya, otaknya berisi pasti."

"Lah? Semua manusia otaknya juga berisi kali."

"Ada yang enggak, Len."

"Siapa contohnya?"

"Tuh," Tio menunjuk ke arah Zidane dan Aretha yang duduk sebelahan dengan kepala Zidane yang menyender kepada Aretha. "Sampe sekarang Aretha kagak pegel-pegel. Kesimpulannya?"

"Zidane gak ada otak?"

"Bukan gua yang bilang."

Galena menutup mulutnya. "Astaghfirullah."

Keduanya tertawa.

"Galena ya ngomongnya."

"Ya elu mancing-mancing!"

TrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang