Chapter Five: Pesenan McD

462 74 23
                                    

"Lah, Gibran?" Adrian Marvatama atau yang akrab disapa Rian itu mengernyit heran sewaktu keluar dari kamar dan mendapati Gibran yang tengah sibuk membolak-balik kertas novel karya Pramoedya Ananta Toer-nya di ruang tengah guest house.

Gibran menoleh. "Eh.."

"Kirain udah tidur. Gua sama anak-anak mau ke McD depan nih. Ikut gak lu?" Tanya Rian kemudian.

Gibran lantas menutup novelnya. "Siapa aja?"

Belum sempat Rian menjawab, tiba-tiba pintu kamar yang ia tempati terbuka dan keluarlah begundal-begundal yang sok tidak kenal tidur. Contohnya, Vito, Nino, Zidane, dan Esa.

"Looooh kok pangeran kita belom tidur?" Zidane dengan gaya sok asiknya menghampiri Gibran dan merangkul pemuda itu seakan sudah kenal sejak lahir.

"Belom ngantuk." Ini bukan Gibran yang jawab, tapi Esa.

"Pangeran kali yang ditanya bukan gosongan kwetiau." Sungut Zidane.

"Brengsek gosongan kwetiau."

Nino yang masih setengah sadar karena tadi tiba-tiba dibangunin itu cuma ketawa hambar.

"Ha." Rian tertawa tidak ikhlas sembari menatap Zidane dan Esa sinis. "Garing lu semua."

Jam menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh lima dini hari. Harusnya para pemuda ini beristirahat yang cukup setelah berjam-jam perjalanan Jakarta-Jogja. Tetapi yang ada malah mereka beramai-ramai berdiri di ruang tengah, lengkap dengan baju tidur masing-masing dan perut yang kosong.

Ya, Pasalnya mereka semua belum makan sedari sampai di guest house. Gak dikasih makan juga. Maka dari itu, Rian dengan perut keroncongannya membangunkan teman sekamarnya untuk diajak makan di restoran cepat saji depan komplek.

"Bukannya gak boleh keluar tanpa izin ya?" Tanya Gibran.

"Patuh amat. Lagian kalo misalkan keciduk juga tinggal protes kita gak dapet makan." Jawab Rian.

Gibran ngangguk-ngangguk. "Yuk deh. Ikut gua."

"Temen sekamar lu udah pada mati semua, Bran?" Vito yang masih memeluk guling itu bertanya.

"Mati?" Gibran mengernyit sebelum akhirnya mengerti maksud kata "mati" yang dilontarkan Vito. "Oh, udah kayaknya."

Vito ngangguk-ngangguk. "Gua bangunin yak. Biar sekalian."

"Iya, biar rame." Rian mengangguk.

Gibran sedikit tersenyum. Dulu, jaman SMP, Gibran mana pernah diajakkin temen kayak sekarang. Boro-boro ikut acara sekolah. Keluar gerbang sekolah aja langsung diikutin dua ajudan papanya. Susah sih penerus perusahaan keluarga mah.

Tapi semenjak masuk SMA, Gibran mulai bisa meyakinkan kedua orang tuanya kalau dia sudah cukup umur untuk menjaga dirinya sendiri tanpa harus dijaga 24 jam oleh suruhan papanya. Walaupun ya tetep aja ada tangan kanan Papa Dirgantara yang menyamar menjadi penjaga guest house di Jogja. Gibran udah tau.

Sewaktu Vito masih sibuk membangunkan semua teman sekamar Gibran, Gibran mengambil secangkir teh hangat yang tadi ia seduh untuk menemaninya baca buku dan belum sempat ia minum. Tadinya mau diminum, cuma takut kebelet buang air kecil nanti di McD. Mana hawa Jogja kalo malem tuh dingin banget kan.

Alhasil Gibran mengumpulkan segala keberaniannya dan naik ke lantai atas, tempat dimana para perempuan beristirahat. Siapa tau ada yang masih bangun.

"Mau kemana, Bran?" Tanya Esa yang melihat Gibran menaiki lantai atas dengan cangkir putih di tangan kanannya.

"Mau ngasih teh ke cewek-cewek. Daripada mubadzir dibuang."

TrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang