BAB 7

6.8K 445 3
                                    

Happy reading 🐥

Jangan lupa pencet gambar bintang yang ada di bagian pojok bawah sebelah kiri yaw ;)

****

"Bang, beliin martabak, dong. Laper banget nih." Syabil yang baru saja datang dari kamarnya menghampiri Abid yang sedang duduk di sofa sembari memangku laptop kesayangannya.

"Bang." Syabil kembali memanggil, lalu ikut mendudukkan tubuhnya di samping Abid.

"Apa, sih, Bil?" tanya Abid seraya memandang Syabil, tetapi detik berikutnya kembali menatap laptop.

"Laper, Bang."

"Ya, makanlah kalau lapar," jawab Abid seadanya tanpa mengalihkan tatapannya pada benda persegi di hadapannya.

"Aku pengennya makan martabak, Bang. Beliin ya, ya, ya ...." Syabil menatap Abid dengan raut memohon yang juga diikuti dengan senyum sok manisnya.

Abid yang melihat raut wajah memohon Syabil, bukannya merasa gemas atau luluh, dpia malah ingin muntah. Kemudian, tangan kanannya terangkat untuk meraup wajah adiknya itu. "Nggak usah sok manis. Udah sana, jangan gangguin Abang," ujar Abid lalu kembali fokus menatap layar laptopnya.

Syabil mendengkus lalu melipat tangannya di dada sembari netranya yang menatap Abid dengan sebal. "Dasar Bang Abid, nggak ada pengertiannya banget. Pantessan aja jomlo," umpat Syabil pelan.

"Abang denger, Bil."

Syabil kemudian berdiri lalu menatap Abid. "Boda amat, Bang!" ujarnya, lalu setelah itu berjalan menuju kamarnya, sementara Abid yang melihat kepergian Syabil hanya bisa menggeleng pelan.

Tak berselang lama, Syabil kembali turun dengan pakain yang berbeda. Sebelumnya dia hanya menggunakan piyama tidur, tetapi sekarang piyamanya sudah berganti dengan baju gamis lengkap dengan jilbab bergo berwarna hitam.

"Mau ke mana kamu?" tanya Abid saat Syabil melewati ruang keluarga.

"Nyari cowok, biar kalau mau apa-apa ada yang turutin," jawab Syabil cuek. Sebenarnya Syabil agak takut saat akan mengucapkan kalimat tadi, tetapi karena sangat kesal dengan Abid, jadilah dia sedikit ada keberanian.

"Oh ... udah berani, ya sekarang?" tanya Abid dengan kerutan di dahinya, dan jangan lupakan pula tatapannya yang terlihat sangat tajam dan menusuk. Melihat hal itu tentu saja membuat Syabil mulai ketakutan. "Masuk kamar! Nggak usah keluar."

"Hish, diseriusin lagi. Canda doang, Bang." Harusnya Syabil tidak perlu menggunakan candaan seperti tadi, karena dia sudah tahu bagaimana sensitifnya Abid jika sudah membahas tentang hal seperti barusan. "Aku cuman mau pergi beli martabak yang ada di depan kompleks," lanjut Syabil.

Abid yang tadinya masih menatap Syabil kini kembali mengalihkan pandangannya ke laptop. "Jalan kaki?" tanya Abid.

"Nggaklah! Aku naik sepeda," jawab Syabil tidak santai.


****

Saat tiba di sana dia memarkirkan sepedanya, kemudian mendekati penjual martabak tersebut. Setelah memesan pesanannya dia disuruh untuk menunggu beberapa saat karena pesanan martabaknya baru akan dibungkus oleh si penjual. Untung saja tidak ada pembeli lain selain dirinya, jadi dia tidak perlu antri berlama-lama sampai pesanannya selesai dibungkus.

Dream Priest (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang