BAB 4

8.5K 526 27
                                    

Happy reading ;)

Jangan lupa pencet gambar bintang yang ada di pojok sebelah kiri, yaw 😉.

****

"Bil ... tungguin, ih!" Alfi berusaha mengejar langkah Syabil yang berada di depannya. Sahabatnya itu tampak berjalan tegesa-gesa dan tidak mau menunggunya--bukan tidak mau, lebih tepatnya memang sengaja meninggalkannya karena Syabil tidak mau menjawab pertanyaan yang sudah beberapa kali dia tanyakan sedari Syabil datang ke kampus.

Karena Syabil tidak mendengarnya dengan terpaksa Alfi berlari dan akhirnya berhasil menahan tangan sahabatnya itu. "Kamu budek, ya? Aku panggil dari tadi juga, suruh nungguin. Eh ... malah makin cepet jalannya." Alfi mendengkus setelah menyelesaikan ucapannya.

"Ya abis kamu, sih. Nanya itu mulu, kan kemarin udah aku jawab," kesal Syabil.

"Ya ... tapi, kan siapa tahu aja jawaban kamu kali ini beda sama yang kemarin. Eh ...." Alfi menarik tangan Syabil untuk menepi karena melihat sebuah mobil yang akan keluar dari area kampus. "Ssst, jangan jawab dulu. Mending kita ngobrolnya di halte depan sambil nungguin jemputan. Ayo!"

Syabil hanya bisa menghela napas pasrah saat Alfi menarik tangannya begitu saja. Dia bahkan lupa jika ternyata sahabatnya ini memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi. Alfi tidak akan pernah berhenti bertanya sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Maka dari itu Syabil paling tidak bisa berbohong pada Alfi atau tidak menjawab pertanyaan yang dia berikan.

"Jadi, ada hubungan apa kamu sama Pak Azam?"

Syabil mengembuskan napas lelah, saat pertanyaan itu kembali dia dengar. Dia bahkan tidak bisa menghitung, sudah berapa puluh kali Alfi menanyakan hal itu hari ini. "Kan, kemarin aku udah bilang. Kalau aku sama Pak Azam tuh nggak ada hubungan apa-apa, Al."

"Ah, masa? Aku nggak percaya. Kalau emang nggak ada hubungan apa-apa terus kenapa ada foto Pak Azam di HP kamu?" tanya Alfi menyelidiki dengan mata yang memicing ke arah Syabil.

Untung saja hanya mereka berdua yang ada di halte. Jadi Syabil tidak perlu khawatir pembicaraan keduanya didengar oleh orang lain.

"Itu tuh foto yang nggak sengaja aku ambil waktu di bandara. Kan, kamu tahu aku suka foto-foto, nah pas lagi nyari objek tuh, aku nggak sengaja ngeliat Pak Azam yang baru keluar sambil narik koper. Awalnya tuh dia nunduk, tapi pas aku udah mau foto, dia malah ngeliat aku dan bukannya nurunin HP aku malah ngefoto dia," jelas Syabil panjang lebar.

"Beneran? Kamu nggak lagi bohongin aku, kan? Kamu nggak lagi nyembunyiin rahasia besar dari aku, kan?" tanya Alfi beruntun masih dengan mata yang menyipit.

"Ya Allah, Al. Aku ngapain bohong, sih. Terus rahasia besar apa coba yang aku sembunyiin dari kamu?" tanya Syabil semakin kesal. Bagaimana tidak kesal jika dia sudah menjelaskan semuanya, tetapi Alfi malah tidak percaya dan menuduhnya yang tidak-tidak.

"Ya, siapa tahu aja, kan. Kamu sama Pak Azam udah nikah, tapi nikahnya diam-diam. Kayak yang sering aku baca di novel."

Karena kepalang kesal Syabil melampiaskannya pada pipi Alfi. "Gini, nih kalau kebanyakan baca novel, apa-apa disangkut pautin!" Syabil mengatakan hal itu sembari mengeratkan giginya lantaran kesal bercampur gemas.

"Lwepwas, Bwil!" Alfi berusaha melepaskan tangan Syabil yang menarik kedua pipinya dengan kencang. Gemasnya Syabil tidak tanggung-tanggung jika sudah menarik pipi Alfi.

Dream Priest (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang