DUA

110 7 0
                                    

Pukul 7.00 KSA

Berkali-kali suara klakson membuatku gugup dan terburu-buru. Menjadi penghuni flat paling atas di asrama dengan lima lantai ini seperti kutukan tersendiri buatku. Tak jarang kakiku selalu dibuatnya kaku dan pegal. Pernah suatu ketika aku harus mengerjar bus yang sudah mulai berjalan. Dengan kaki telanjang dan kitab-kitab yang berhasil kupertahankan saat hendak jatuh di tangga lantai tiga, aku berhasil memasuki bus. Untunglah saat bus mulai berjalan, salah satu kakak tingkatku cepat tanggap dan langsung memberitahu sopir untuk segera memberhentikan bus.

Dengan nafas tersengal, aku segera berbenah. Sengatan matahari masih menjadi masalah. Banyak perbedaan yang masih harus kupelajari di sini. Terlebih hawa panas dan cadar yang melekat membuatku sulit bernafas. Maklum, aku baru mengenal cadar sejak berada di sini.

"Tiga puluh sembilan derajat. Hfft." dengusku kesal. 

* * *

Saat pergantian jam mata kuliah.
Kudengar Hany tak henti-hentinya sibuk dengan segudang komentar tentang sulitnya memahami penjelasan-penjelasan Sang Dosen.
"Ya maklumlah, kita masih beradaptasi. Paling nanti juga bisa paham sendiri karena setiap hari mendengar Bahasa Arab." Kata Astrid, mencoba meredakan komentar-komentar Hany.
"Bye the way, dosen yang tadi, pengetahuannya luas banget ya. Kelihatan dari cara berbicaranya, walaupun aku gak paham-paham banget sih sama apa yang beliau ajarkan tadi."
"Iya, tapi gak kira-kira kalau ngasih tugas. Dikira kita udah paham semua apa!"
"Udah-udah, gimana kalau sebelum jam terakhir kita ke perpustakaan? Sambil lihat-lihat kitab, siapa tahu kita bisa dapat jawaban tugas-tugas kita di sana."
"Kenapa sih kitab-kitab yang harus kita pelajari di sini susah-susah banget?! Ya Syarh Bin Aqil, I'anatutolibin, Tarikh Tasyri', Hhh.. pengen pulang."

Aku hanya bisa tertawa mendengar celetukan teman-temanku yang berakhir dengan tangisan Ayu. Memang di antara aku, Astrid, Hany dan Ayu, Ayulah yang suka menangis jika merasa kesulitan saat melalui hari-harinya di kampus ini. (semoga silaturrahmi kita awet ampe nenek-nenek ya) Dan dari sederet mata kuliah yang diajarkan, taka ada satupun yang pernah kupelajari sebelumnya. Sejenak aku terhening, mampukah aku di sini? Di negeri yang banyak mencetak para Ulama ini? Dengan kegiatan asrama yang membuatku masih merasa asing? Sanggupkah aku dengan seabrek dan kegiatan kuliah yang bisa di bilang sangatlah padat? Mampukah aku?
Ya Allah, apa maksud dari mimpi itu?

* * *
Aku selalu membayangkan aku bisa menjelajahi kehidupan bebas seperti kehidupan teman-temanku di Sudan, Mesir, Turki, dan Pakistan. Tapi takdir berkata lain. Menjalani hidup sebagai mahasiswi rasa santri tanpa laptop dan handphone, dengan segala peraturan asrama yang mengekang, dan pakaian serba hitam beserta cadar yang menjadikan semua bayangan itu kini pupus.
Tiba-tiba aku teringat mamah. Ah, Mamah. Apa kabar, Mah? Inikah kehidupan yang kau pilihkan untukku? Oya gak betah, Mah. Oya pengen pulang.

Jangan lupa vote dan komen ya kalian..

TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang