"Oya, jadinya mau nerusin ke mana nih?" Pertanyaan itu mengejutkanku setelah perdebatanku dengan mamah di telepon.
"Eh, kok nangis?" sapanya setelah menyadari mataku yang sembap oleh air mata.
"Ya, jawab dong. Cerita sama aku." Katanya sembari mendekat dan memelukku.
"Aku kesal, Fa. Aku kesel sama mamah." Jawabku seadanya. Kutahan air mataku agar kudapat menceritakan semua yang terjadi.Alifa Rosyida, dia sahabatku. Enam tahun kami berteman dengan pertengkaran-pertengkaran kecil di antara kami. Tapi aku tahu, kami saling menyayangi dan tak bisa lepas satu sama lain.
Aku bingung bagaimana memutuskan permasalahan ini. Dengan suara menahan tangis, aku putuskan untuk meceritakan kegelisahanku padanya,
"Tadi aku habis menelepon mamah, Fa."
"Masalah kuliah?"
"Iya," wajahku memerah ingin menangis.
"Terus, apa kata mamah? Semuanya baik-baik aja kan? "Aku pun tak kuasa menahan butiran cairan bening ini. Aku menangis di pangkuan Alifa, kutumpahkan semua butiran air mata ini. Setelah beberapa saat setelah tangisku mereda, Alifa mencoba membuka mulut untuk berbicara."Cerita coba, mungkin aku bisa bantu." Saran Alifa.
Akupun bercerita tentang semua perdebatanku dengan mamah.
"Hmm, gara-gara itu kamu nangis."
"Ingat gak sama pelajaran Aqidah minggu lalu? Bahwa boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu nggak baik buatmu, pun sebaliknya. Kita mah nggak tahu, apa yang Allah mau. Kita kan ibarat wayang, dan Allah dalangnya." Katanya bijak.
"Doa-doa yang kita panjatkan setiap waktu pasti akan terkabul. Jika kita merasa semua itu tak terkabul, mungkin Allah punya waktu yang lebih tepat untuk memberikan apa yang kita mau atau malah hendak memberikan yang lebih baik dari yang kita inginkan." Lanjutnya kembali.
Aku terdiam mendengar nasihat-nasihat bijaknya. Kupeluk Alifah sekali lagi."Makasih banyak ya, Fa. Kamu udah mengingatkanku."
"Sama-sama, Oya." Jawabnya sambil melepas pelukanku.
Dipegangnya kedua pundakku erat, "coba kamu sholat istikharah, biar Allah kasih petunjuk. Karena manusia itu lemah dengan segala keterbatasannya. Serahkan semua urusan pada Allah, karena Allah lebih tahu semua yang terbaik buat hambanya." Tambahnya yang berakhir dengan untaian senyum dan kedua tangan yang sibuk membenarkan kerudung yang kukenakan.Malam itu, kubasuh wajah ini dengan air kaki pegunungan Jawa Barat, sedikit membuatku menggigil. Aku berniat sholat istikhoroh. Aku teringat kata Alifah, "ketika kita dipusingkan untuk memilih dalam perkara dunia, maka serahkan saja urusan itu kepada Allah, sholatlah istikharah, minta petunjuk kepada Allah." Maka, kugelar sajadah usangku ini. Aku berharap semoga Allah memberiku petunjuk.
"Ya Allah, Oya sudah mau selesai tiga aliyah. Sebentar lagi kuliah. Oya bingung harus kuliah di mana. Antara Sudan atau Yaman. Kasih Oya petunjuk, Ya Allah."
Jam menunjukkan jam 12.00 malam. Saatnya kurebahkan tubuh ini. Dan, gelap.* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir
Non-FictionKisah nyata seorang mahasiwi hadramaut. Mampukah dia bertahan? Dan bagaimana akhir dari takdir hidupnya?