Sore ini jadwalku keluar asrama, kulihat sederet kebutuhan yang sudah kutulis di kertas. "Banyak juga." Bisikku pada diri sendiri.
Toko demi toko kusinggahi, sampai akhirnya kuputuskan untuk membeli syawarma sebelum kembali ke asrama.
DEG! Langkahku terhenti melihat sesorang berjubah putih dengan tinggi semampai itu. "Aku seperti mengenalnya." Ingatku. Ya, dia laki-laki itu.
Sejenak pikiranku melayang mengingat kejadian ketika berangkat ke Yaman.Bandara Soekarno-Hatta.
Kuhempaskan tubuhku di bangku pesawat dengan seat 26A.
"Aah. Akhirnya." gumamku setelah lelah mengurus bagasi yang sempat bermasalah. Hari ini aku berangkat ke Yaman, pesawat Yemenia Air kali ini akan mengantarku selama kurang lebih sembilan jam untuk bisa sampai ke negeri berpenduduk wanita dengan pakaian serba hitam itu.
Kubetulkan letak dudukku sebelum akhirnya kuputuskan untuk berkenalan dengan teman yang duduk di sebelahku. Hatiku kosong, datar, dan tak sedih seperti teman-temanku yang banjir air mata ketika berpisah dengan orangtuanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Life must go on ya! Semangatku dalam hati.Hari itu, perutku sedang tidak sehat. Berkali-berkali sebelum berangkat, aku keluar masuk kamar kecil untuk buang air besar. Aku sengaja tidak makan banyak sebelum berangkat, takut kalau mulas itu kambuh di tengah perjalanan panjang nanti.
Tapi penyakit tetaplah penyakit. Mulas itu menyerang di tengah perjalananku."Ah, merepotkan saja," batinku. Aku jadi harus membangunkan teman sebangkuku yang sedang tertidur pulas di sampingku.
Kubuka pintu kamar kecil berkali-kali. Tidak terbuka. Kudorong. Tetap tidak tergerak. Kuketuk, tak ada jawaban. "Ah, ini orang di dalem gak tahu ya kalau aku lagi mulas" kesalku.
Kulihat sekeliling. Tak ada yang bangun, semua terlelap hangat di balik selimut mereka. Kecuali, hanya ada satu laki-laki yang terjaga. "Tak mungkin aku memanggilnya." Pikirku sendiri. Aku terlalu malu untuk meminta tolong kepadanya agar membukakan pintu kamar kecil ini untukku.Kuketuk untuk kesekian kalinya. Tetap tak ada jawaban. Tiba-tiba tanpa kusadari, laki-laki tadi sudah berada tepat di sampingku. Sontak aku menjauh darinya.
"Sepertinya, ada orangnya." Ucapnya sambil menunjuk tanda merah di papan pintu.
Langsung saja dia memuka pintu kamar kecil di seberangnya. "Di sini saja, kosong."
Kupercepat langkahku masuk kamar kecil. Kebelet dan menahan malu.Tiba-tiba saja rasa mulas itu hilang seketika. Aku benar-benar merasa sehat wal afiat. Hahah lucu aku ini.
Entah siapa laki-laki itu. Tapi kenangan itu selalu bisa membuatku tersenyum sendiri ketika mengingatnya.* * *
Empat tahun terasa begitu cepat. Jubah hijau ini kukenakan dengan bangga. "Anakmu sudah sarjana, Mah!" batinku.Seandainya kedua orangtua bisa hadir di acara wisudaku, pasti akan terasa lengkap kebahagiaanku hari ini.
Kuseka ujung mataku yang tak kusadar sudah basah oleh air-air nakal ini. Mengingat perjalanan panjangku yang kulalui, tak pernah menyangka bisa sampai pada tahap ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/172109846-288-k869946.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir
Non-FictionKisah nyata seorang mahasiwi hadramaut. Mampukah dia bertahan? Dan bagaimana akhir dari takdir hidupnya?