TUJUH

104 9 2
                                    

Kubuka buku tebal bersampul coklat milikku, orangtua yang jauh di sana menjadikan buku inilah yang kerap menjadi tempatku menuangkan rasa sedih, dan bahagiaku.

Sebenarnya, aku tak perlu apa-apa lagi.
Aku tahu benar. Ada yang senantiasa mengeja namaku dalam doanya.

Aku tahu sekali, ada yang mati-matian mengusahakan kebahagiaanku meski dia berurai derita di sana.
Aku tahu jelas, setidaknya ada satu orang yang mencintaiku dengan sempurnanya meski dia tak sempurna, selalu bangga atas segala sesuatu yang kulakukan, selalu berusaha menguatkan padahal dia tak lebih kuat dari orang lain, yang mati-matian menyingkirkan hal-hal buruk dariku hanya untuk memberikan yang terbaik di kehidupanku.

Seseorang yang selama ini kupikir selalu mengecewakanku, karena kuanggap tak tegas, kuanggap mengekangku sedemikian erat, yang kuanggap diktator dalam menentukan jalan hidupku, kuanggap terlalu lemah dalam menghadapi orang-orang yang selalu mencela dan mengkritiknya.

Ah!
Betapa aku sangat amat beruntung. Aku hanya terlambat menyadari betapa cara mencintai itu banyak macamnya, betapa mencintai itu tak hanya mengumbar perasaanmu namun langsung membuktikan itu menandakan cinta yang demikian dalam.
Mamah, dengan seluruh hati yang kupunya, dengan tiap mil-senti sel yang bekerja dalam diri. Aku mencintaimu!
Terimakasih telah memaksaku untuk menempuh jalan yang telah engkau pilihkan, kini baru aku sadari, ini semua menempa aku, betapa jalanku telah dipermudah, betapa aku beruntung pernah menempuhnya.
I love you to the moon and back mah!

Kuseka ujung mataku yang sudah basah dengan air mata ini.
"Terimakasih, Mah!" ucapku tersenyum sambil menutup buku dan bersiap untuk tidur.
(Ah, mamah.. kau selalu mampu membuat mataku berkaca-kaca setiap melihatmu tersenyum. Sehat terus ya, mah..)

* * *

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


* * *

Langit hitam malam ini saja mampu membuatku terpana, pantulan warna orange dari bangunan tanah liat yang menjulang ini menambah kesan romantic kota ini. Sejuk angin pun seperti tak mau ketinggalan peran, mereka seakan berteriak memintaku untuk tidak pergi.

Kuputuskan, aku akan mengambil magister di sini dengan segala keindahan kota ini. Hati mana yang tak terjerat, jiwa mana yang tak terengkuh. Sepanas apapun udara di kota ini, segersang apapun padang pasir terbentang di sini. Jiwa ragaku ada padamu negeri seribu satu wali.
(Foto ini di ambil dari sisi kanan sakan banat dakhily, fuwah-mukalla dua tahun lalu)

 (Foto ini di ambil dari sisi kanan sakan banat dakhily, fuwah-mukalla dua tahun lalu)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
Alhamdulillaaaah selesai juga cerita ini,
Silahkan vote dan komen ya 😊

Oh iya, ini cerita nyata yang di tuliskan berdasarkan hidup author sendiri, hahha

Keep stay yaa, soalnya author bakal nulis lanjutan kisah soraya yang melanjutkan master degree di bumi hadramaut ini 🍦🍦

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang