TIGA

81 6 0
                                    

Masih di bawah langit Hadhramaut, dengan hamparan senja yang mulai memudar dan semilir angin yang membuai harapan dan asa. Sudah empat bulan aku bertahan di sini. Hari-hariku lebih disibukkan dengan segudang mata kuliah yang menumpuk dan ujian yang hampir menyita seluruh waktu dan pikiran, tentang kegiatan-kegiatan yang kujalani di asrama sendiri, aku pun mulai terbiasa dengannya. Ya, walau masih terasa asing bagiku, namun kucoba menikmatinya.

Aku teringat kejadian empat bulan lalu ketika aku bertengkar hebat dengan orangtuaku tentang kelanjutan pendidikanku. Aku yang bersikeras dengan keinginanku dan Mamah yang bersikeras dengan keputusannya.
Saat itu aku sedang berbicara dengan mamah melalui telepon. Mulai dari menanyakan kabar hingga menceritakan kegiatan-kegiatan yang kujalani selama ini. Lalu aku memulai percakapan tentang kelanjutan studyku yang selama ini selalu ingin kutanyakan langsung kepadanya. Pikirku ini adalah saat yang tepat untuk menanyakannya.

"Mah, Oya kan sekarang sudah kelas tiga aliyah. Menurut mamah Oya lanjutin kuliah ke mana bagusnya?" tanyaku manja kepada mamah. Sebelum mamah sempat menjawab pertanyaanku, aku langsung bercerita tentang Sudan. Karena aku ingin sebelum mamah menjawab pertanyaanku, mamah tau apa yang aku inginkan.

"Oh ya, Mah. Kemarin Oya dan teman-teman habis streaming sama alumni yang ada di Sudan. Ternyata di Sudan bagus loh, Mah. Bisa kuliah sambil menghafal Al-Qur'an. Buktinya kakak kelas Oya banyak yang selesai kuliah sekaligus menyelesaikan hafalan Al-Qur'annya. Terus, dosennya juga keren-keren. Oya jadi membayangkan kalau Oya kuliah di sana. Kan anaknya Om Ari kuliah di Sudan juga, jadi enak nantinya, Mah. Mamah jadi gak perlu khawatir anaknya di negeri orang." Dengan penuh semangat dan bangga aku bercerita tentang Sudan dan keunggulannya. Sembari berharap mamah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikanku ke sana.

"Hallo, Mah? Mamah?" panggilku di ujung telepon. Entah apa yang terjadi di sana hingga suara mamah tak terdengar jelas olehku. "Mah, halo?"
  "Oya, nanti kuliahnya ke Yaman saja!" 
DEGG! Detak jantungku terhenti sesaat. Aku mengenali suara itu, suara abah. Euforiaku luntur terhapuskan oleh suara mantap abah. Aku mengenal watak abah yang keras. Apapun yang menjadi keputusannya, tak akan ada yang berani membantah ucapannya.
"Yaman? Kok? Tapi, Bah.."  bantahku mencoba melawan.

Belum sempat aku menyatakan keberatanku, mamah memotong dengan nada semangat, "di sana bagus,  Oya. Kuliahnya khusus perempuan. Gak ada ceritanya perempuan dan laki-laki tercampur. Alumninya sukses-sukses, Oya bisa juga sambil menghafal di sana. Mamah sudah dengar ceritanya dari  Ustadz yang pernah belajar di Yaman. Dibanding Oya ke Mesir atau Sudan. Sekarang sudah terlalu bebas di sana. Abah dan mamah khawatir dengan keadaan di sana, Oya kuliah di Yaman aja ya." Bujuk Mamah.

"Tapi di Yaman gak ada teman ataupun kenalan Oya, Mah. Nanti Oya sendirian di sana. Gimana kalau Oya gak ngerti apa-apa?"
"Loh, bagus dong. Oya jadi bisa mandiri nanti. Lagi pula kalau ke Yaman, Oya bakal jadi contoh buat adek-adek kelas Oya. Oya jadi pembuka jalan buat mereka kuliah di sana. "
"Oya gak mau!" sifat keras kepalaku muncul.
"Oya mau tes ke Sudan aja. Mau sama teman-teman Oya." Bentakku.
"Oya, percaya sama mamah, di sana bagus!"
"Yaman itu Negara miskin, Mah. Tega banget sih mamah sama abah ngebuang Oya jauh ke sana!"
"Kenapa mamah gak pernah ngerti apa yang Oya mau? Dulu waktu Oya mau masuk SMP favorite, Mamah malah nyuruh Oya masuk pesantren. Sekarang, Oya mau ke Sudan, Mamah malah suruh  Oya ke Yaman. Kenapa sih hidup Oya di atur-atur terus? Pokoknya Oya mau tes ke Sudan! Kalau gak kuliah di Sudan, mending Oya gak usah kuliah sama sekali, dibanding harus kuliah ke Yaman."

"Ya udah kalau Oya gak mau ikut apa kata mamah, terserah Oya mau kuliah di mana. Tapi soal biaya, silahkan Oya cari sendiri!" Mendengar ultimatum mamah tersebut, aku langsung menutup telepon tanpa mengucapkan salam.
Kukepal erat jari-jemariku menahan kesal. Aku terduduk lemas, mengerang marah, menahan gemuruh di dada. Benci seketika menyeruak. Entah apalagi yang Tuhan gariskan untukku.
"Aku sudah besar, masih saja hidupku di atur-atur oleh orangtua. Apa susahnya mengikuti keinginanku. Toh Sudan dan Yaman sama-sama Luar Negeri." Erangku kesal.
Sudan, entahlah.

"Terserah, terserah mamah saja. Mau tidak menganggap aku sebagai anak, juga terserah saja!" Teriakku dalam hati.

Lanjut ke bagian EMPAT..

TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang