27. TEARS

66 6 0
                                    

Cinta dan kasih sayang itu beda tipis. Berbeda halnya dengan rasa suka dan rasa benci.

**********

Malam tiba, Kevin yang baru saja kembali dari luar kantor seketika saja kaget, saat mendapati Irtiza tengah duduk disofa tamu ruang kerjanya malam itu. Kevin pun berlalu mengambil duduk sopannya pula, tepat sekali disisi kanan sofa Irtiza.

"Kevin, bisa kita mengobrol sebentar?" Ujar Irtiza, Kevin tampak melemparkan raut penuh tanyanya.

"Siang tadi saya baru saja pulang dari luar. Disaat saya melewati kantin pegawai, saya tidak sengaja mendengar pertengkaran antara Yuna, Yuri dan kedua pekerja wanita lainnya. Saya melihat keberadaanmu dan juga Amyra disana. Apa yang terjadi? Apa yang mereka pertengkarkan?"

Sejenak menghela nafasnya, Kevin pun berlalu menjawab, "Mereka menggosipkan Amyra Pak. Mereka menggosipkan Bapak berpacaran dengan Amyra, karena salah satu dari mereka mendengar saya dan Amyra mengobrol siang tadi. Disaat itu pula mereka membicarakan mengenai posisi Amyra sebagai Sekretaris Bapak. Mereka bilang, posisi Sekretaris tentu tidak akan bisa digoyahkan lagi, karena adanya Amyra sebagai kekasih Bapak. Kedua pegawai itu, tidak luput juga menghina Amyra sebagai wanita penggoda" Cerita Kevin mendetail, Irtiza yang mendengarnya pun tampak termenung.

"Saya mengkhawatirkan Amyra, Pak. Walau Amyra terlihat tegar, tapi saya takut suatu saat nanti dia akan kelelahan juga mendengar gosip-gosip yang ada. Amyra tidak bersalah, hanya orang-orang saja yang suka sekali mengusiknya" Akhir Kevin.

**********

Hems... Cerita Kevin itu, terus saja menghantui pikiran Irtiza. Irtiza yang kini masih menatap sendu pintu kerjanya seketika saja dikagetkan dengan kehadiran Amyra yang tampak membawa berkas digenggaman tangannya.

"Selamat malam Pak, ini berkas penginap selama satu bulan ini" Ujar Amyra seraya ia letakkan berkas bawaannya itu keatas meja Irtiza. Seperti biasa, Irtiza pun berlalu memeriksa dokumen pekerjaan pegawainya itu.

Lantas membubuhi tanda tangannya, Irtiza pun berlalu mantap lekat Amyra, hingga membuat tangan Amyra terhenti saat hendak meraih kembali berkasnya.

"Kamarilah" Ujar Irtiza menarik tangan Amyra, agar Amyra lebih mendekat lagi kepadanya. Amyra yang tersenyum gaguk pun hanya tanpa celingak-celinguk kesekelilingnya, memeriksa tidak adanya orang yang melihat mereka tengah bersama disana.

"Hems... Kenapa aku begitu mencintai gadis bodoh ini?" Tutur Irtiza berlalu memeluk hangat tubuh Amyra, membuat Amyra kian gaguk saja.

"Jangan seperti ini, nanti kalau ada yang melihat kita, bagaimana?" Tungkas Amyra, hendak melepaskan tubuhnya dari pelukan erat Irtiza.

"Siapa yang akan melihat?" Ujar Irtiza berlalu merenggangkan pelukannya. "Kecoa, cicak, atau nyamuk?" Lanjut Irtiza bercanda.

"Para pegawai Hotel lah"

"Maaf Nona Amyra, ruang kerja saya sangat steril. Mereka akan mengetuk pintunya, bukan?" Jelas Irtiza, kembali mempererat pelukannya lagi. "Ah iya, Papa mengundang kita makan malam di rumahnya besok"

"Pak Danial?" Kaget Amyra, sejenak merenggangkan pelukannya kembali dan menatap teduh Irtiza. "Pak Danial sudah tahu tentang hubungan kita? Apa beliau menerimanya?" Tanya Amyra lanjut.

"Panggil dia Ayah mulai dari sekarang. Mengerti?" Tegas Irtiza, Amyra pun tampak menarik tenang senyumnya kembali.

"Tentu saja Papa menerimamu, karena dia yang lebih mengenal kamu ketimbang aku. Bukan begitu? Ya sudah, kembalilah bekerja Sekretaris Amyra"

"Iya-Iya. Aku kerja lagi ya. Selamat malam Pak Irtiza" Akhir Amyra.

Bersama dengan senyuman di wajah Irtiza, Amyra pun berlalu melangkahkan kakinya.

**********

Malam kian hening saja hujan tanpa sadar turun dengan derasnya, Amyra yang tengah berjalan dijalanan menuju rumahnya tampak tak bergeming dari langkahnya.

Amyra tidak akan menyalahkan hujan, yang kenapa turun tepat disaat hatinya tengah bersedih? Ia juga tidak akan menyalahkan matahari, yang kenapa seakan enggan menghibur hari suramnya hari ini? Yang hanya Amyra renungi sekarang adalah, gosip yang tadi ia dengar di kantor mengenai dirinya dan juga Irtiza...

"Ojek payungnya mba" Seru Alesha yang entah sejak kapan sudah berdiri memayungi Amyra dengan payung hitamnya, Amyra yang sontak kaget seketika saja menghentikan langkah kakinya dan berlalu menatap sahabat yang sudah ia anggap seperti Kakaknya sendiri Itu.

Amyra terdiam membisu, wajahnya yang sudah basah diguyur oleh hujan, tampak menampilkan raut sendunya. Amyra tiba-tiba saja memeluk erat Alesha dan menangis sejadi-jadinya.

Alesha bingung penuh tanya, tapi sebagai seorang sahabat tak banyak yang bisa diperbuat Alesha, ia hanya berusaha menenangkan Amyra melalui tepukan hangatnya. Amyra ingin bercerita, Alesha lah orang yang dipilihnya. Andai Alesha tiada, mungkin Amyra akan memendam rasa sedihnya sendiri.

BABY BREATH FLOWERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang