Sembilan

550 24 0
  • Didedikasikan kepada Readers
                                    

“Jadi, hari ini kita akan kemana?”

Kinan bertanya tepat saat bel pulang berbunyi. Aqil mengangkat bahunya, tak tahu. Chaista terlihat berpikir.

“Jane, ayo!”

Evan menarik lengan Jane lembut. Jane menggigit bibirnya terlihat ragu, menatap teman-temannya

“Hoi! Mau kau bawa kemana Jane!!” Kinan berteriak.

“Aku pinjam yah, aku mau mengajaknya kencan!!” Balas Evan berteriak.

Sosok Jane dan Evan menghilang dibalik pintu. Aqil berdiri, bersiap pergi.

“Loh, kau mau kemana Qil?” Tanya Kinan bingung.

“Pulang, kenapa? Mau ikut?” Tanya Aqil retorik.

“Hati-hati…” Ucap Chalista.

Aqil mengangguk kaku, berjalan keluar.  Kinan terkekeh kecil.

“Mereka lucu yah…”

“Yah..” Chalista menjawab dengan kaku dan datar.

“Loh, kau kenapa??” Tanya Kinan bingung.

“Tidak… tidak kenapa-kenapa..”

Chalista memandang kursi tempat Evan duduk. Sedangkan Kinan menatap itu semua dengan bingung.

****

          Hari ini, tepat satu bulan masa pacaran Evan dan Jane. Itu berarti hari ini jugalah keputusan Jane untuk menerima cinta Evan atau tidak. Tapi Jane masih bingung, dengan perasaannya pada Evan. Karena akhir-akhir ini otaknya selalu dipenuhi sosok lelaki lain yang malah menjauhinya… Aqil.

          Evan berdiri dihadapan Jane, tersenyum manis dengan perasaan yang bercampur aduk. Antara penasaran, takut, khawatir menjadi satu. Namun ia tetap menunjukkan senyum terbaiknya pada Jane.

“Jadi apa jawabanmu Jane?” Tanya Evan.

“Aku, menyukaimu Evan..”

Senyuman Evan semakin merekah saat mendengar ucapan Jane.

“Terimakasih Jane…”

“Tapi..”

“Tapi?” Evan menaikkan alisnya.

“Maafkan aku, aku hanya menyukaimu sebagai teman…”

          Evan terdiam. Senyum yang tadi merekah menjadi luntur seketika. Ia menatap Jane terluka. Tatapan yang berhasil membuat sebagian hati Jane menjadi sakit.

“Tidak bisakah kau menerimaku Jane?” Tanya Evan serak.

“Maafkan aku Evan.. aku sudah mencobanya.. tapi tidak bisa…”

“Tidak sedikitpun aku masuk kedalam hatimu?”

“Sebenarnya jika harus jujur, sebagian dari hatiku sudah menerimamu…” Ucap Jane ragu.

Tidak yakin akan ucapannya. Evan menatap Jane, secercah harapan ada didalamnya.

“Lalu, kemana sebagian lainnya??”

“Aku sendiri juga tidak tahu Evan…”

          Jane hanya diam. Tidak berani menjawab, bahkan ia menundukkan kepalanya. Begitu banyak pikiran yang berkecamuk diotaknya. Karena sejujurnya ia sendiri tidak pernah yakin apakah Evan pernah masuk kehatinya. Evan yang melihat tingkah Jane, menghela napas pasrah. Ia menatap keatas, menyiapkan hatinya yang sudah terluka.

“Baiklah Jane, aku tidak akan memaksamu…”

Jane tersentak saat mendengar ucapan Evan.

“Evan… maafkan aku.. kau boleh membenciku, ah sebelum itu kau boleh mencaci makiku!!”

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang