Bagian 9

388 34 7
                                    

Sedikit lagi pergantian tahun dan aku masih tidak menemukan sesuatu yang menyenangkan sepanjang tahun ini.

Resolusi? Itu hanya omong kosong. Bagaimana aku bisa menyusun tujuan tahun depan, sementara kau sudah merampas semua tujuanku?

Sejak dulu, ketika orang-orang yang kusayangi pergi, kau datang dan memberiku dunia baru untuk kutuju.

Katamu, itulah tujuan keberadaanmu dalam hidupku.

Lalu, kau pergi. Membawa rencana-rencana yang kupertahankan untuk hidup.

Sebenarnya selama beberapa bulan ini, aku kembali mengunjungi dokter Hana. Tentu saja dia kaget melihatku. Aku sudah bertahun-tahun mencampakkannya. Dulu, kehadiranmu dalam hidupku, selalu kurasa cukup.

Namun, dokter Hana tidak bertanya apa-apa. Dia cukup tahu diri untuk tidak mengungkitmu.

Aku pun tidak bercerita banyak di hadapannya. Kami hanya duduk, ditemani kepulan asap kopi hitam yang menusuk hidungku dengan aromanya. Alisku mengenyit, mencium bau familier itu.

Ah, aku ingat ... itu adalah aroma yang selalu kau puja, setiap menemaniku sesi konseling.

Kau akan duduk di sudut sofa, dan membiarkan aku bercerita hal-hal menyenangkan yang terjadi dalam hidupku kepada dokter Hana. Diam-diam, saat kau menyeruput kopi dengan mata terpejam, aku melihat bibirmu tertarik simetris. Dan aku sangat puas, berpikir bukan kopi itu yang membuatmu tersenyum.

Kau tersenyum karena aku tidak pernah berhenti membicarakanmu kepada orang lain.

Itu bukan pertanyaan, tetapi pernyataan.

Setidaknya, dulu aku tahu seberapa berharga diriku dalam hidupmu.

Akhirnya hari ini dokter Hana kembali memberiku resep penenang agar aku bisa beristirahat di malam hari. Aku memandang cukup lama obat-obat yang terbungkus plastik itu dengan tangan yang gemetar. Aku ingat bagaimana ekspresi kesalmu saat aku mulai bergantung pada obat penenang. Hmm ... itu adalah masa terburuk keduaku. Yang pertama? Ya, saat kemarin dan sekarang, di mana tidak ada kau dalam hidupku.

Aku ingat bagaimana ekspresi marah dan tertekanmu saat melihatku di ranjang rumah sakit dengan infus yang tertancap pada tanganku. Kau mengutuk semua orang, kecuali aku. Kau marah-marah pada kesalahan kecil, tetapi selalu menatapku dengan sorot penuh kasih. Padahal, aku tahu, akulah penyebab resahmu hari itu. Semua gara-gara aku yang meminum obat penenang lebih dari dosis yang dianjurkan.

Aku sangat kalut saat itu. Dan kau mengerti. Aku tidak perlu menjelaskan bagaimana kacaunya diriku ketika melihat mayat kaku kakakku yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Kau tidak bertanya bagaimana perasaanku, sebab kau merasakannya. Kau ikut meneteskan air mata ketika aku tersedu dalam dekapanmu.

Dan sekarang, ketika aku tersedu karena kehilanganmu, tidak ada dekapan yang mampu meredam dukaku.

Bagaimana aku bisa bertahan sehari lagi?

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang