Enam

2K 224 8
                                    

Suasana cafe yang ramai sedikit menyadarkan Jimin dari lamunannya. Ia menatap jam di pergelangan tangannya, pukul dua siang. Lalu kembali menatap ke arah manusia di seberang meja—Kim Taehyung—yang kini sedang asyik dengan ponsel dan sesekali tersenyum manis.

Kunyahan permen karet di mulut Jimin makin terasa hambar, ditambah pemandangan memuakkan mata yaitu Taehyung—si bucin ultimate—yang tetap asyik pada dunianya sendiri, mengabaikan sahabatnya yang kini menatapnya sebal.

Hingga rasa permen karet itu habis dan Jimin membungkusnya dengan selembar tissue. Tepat saat itu juga, ia melemparkan tissue itu ke arah Taehyung. Korbannya mengerjap dan menatap Jimin dengan pandangan bertanya.

“Apa’an?” tanya Taehyung polos.

“Apa-apa kepala lo botak!” sinis Jimin.

Taehyung mengernyit, makin bingung dengan tingkah Jimin. “Lo kenapa, deh? Nggak punya uang? Atau apa?”

“Gue ngajakin lo ke sini buat ngobrol, ngerokok, buat nemenin gue yang lagi setres. Bukan malah asyik pacaran sama Irene dan lupain gue!”

“Oh, cemburu.”

Jimin kesal, melempar kotak tissue yang mendarat mulus di kepala Taehyung. “Cemburu matamu!” desisnya.

“Anjing! Santai napa Jim, ngegas banget, sih?”

“Bodo! Kesel gue sama lo!”

“PMS, ya?”

“Mulut lo minta gue lakban, ya, ternyata? Sini lo!” Jimin makin murka, membuat Taehyung mengangkat kedua tangannya, menyerah.

Jimin diam, menyeruput caramel machiatonya yang masih utuh. Tidak tersentuh sejak minuman itu datang sekitar lima belas menit yang lalu. Ia menatap ke arah Taehyung, sahabatnya meletakkan ponsel di meja dan mengeluarkan satu batang nikotin yang terhitung; sudah batang keempat sejak tadi pagi.

Taehyung menghembuskan asap rokoknya, melirik Jimin yang juga menyalakan rokok. Keduanya diam selama beberapa detik, menikmati kebersamaan dalam diam dengan nikotin kesekian yang menemani.

“Jim.”

“Apa?”

“Jimin.”

Jimin mengernyit. “Apa, sih?”

“Park Bantet Jimin.”

“Bangsat, ya, lo!”

Taehyung terkekeh, menghembuskan asap rokoknya lalu meletakkan batangnya di asbak. “Santai, dong, sensi banget, sih?”

“Sensi, tuh, nama masker?”

“Garing, goblok!”

Keduanya terkekeh, menyesap kembali batang rokok terakhir di dalam mulut. “Gimana kabar pacar?” tanya Jimin.

“Baik,” jawab Taehyung. “Masih aman nggak kebobol.”

“Bangsat mulut lo!” gemas Jimin sambil melempar puntung rokok yang sudah padam.

Taehyung terkekeh, terbiasa dengan umpatan kasar Jimin. Ya, bagaimana, ya? Bahasa kasar itu semacam makanan sehari-hari untuk mereka, terbiasa bersama membuat mereka paham satu sama lain dan tidak ambil pusing masalah umpatan apapun.

“Tae, enak nggak sih pacaran sama yang lebih tua?” Jimin bertanya dengan hati-hati. Taehyung nampak memikirkan ucapannya, berusaha mencari jawaban agar Jimin paham dengan pemikiran dan perasaannya.

“Enak aja, kalo buat gue.”

Jimin mengangkat sebelah alisnya, tanda bertanya karena nyatanya jawaban Taehyung sedikit ambigu—menurut dia.

Pandangan Taehyung menerawang. “Enak aja, Jim. Irene tuh bisa jadi lebih dewasa dari pada gue, perhatian dan detail banget sama apapun yang harus dan nggak harus gue lakuin. Semacam, bunda kedua buat gue, mungkin?” kekeh lelaki bermarga Kim itu. “Tapi apa yang beda? Dia itu bisa manja dan jadi childish banget, bahkan gue suka nggak paham sama karakter dia yang kadang berubah-ubah. Padahal dianya tuh dingin banget, jutek!”

Jimin mengangguk membenarkan. Kesan pertama ketika Taehyung mengenalkan Irene padanya adalah—gadis itu terlampau cuek dan pendiam—bahkan tidak suka berbasa-basi dan hanya mengekori kemana Taehyung pergi jika diajak nongkrong bersama.

“Gue pikir dia tuh dulu jutek, cuek, duh, susah pasti buat ngajakin ngomong. Eh, pas kenal, anaknya seru juga ternyata.” ujar Jimin.

“Ya, gue kira juga gitu, Jim. Mukanya itu loh, datar banget kayak triplek mana kalo ngomong kayak nggak niat banget, kan? Tapi ujung-ujungnya dapet juga gue!”

Jimin tertawa, matanya menyipit dengan dua pipinya yang naik membuatnya terlihat manis dan menggemaskan. Sisi lain dari wajahnya yang terlihat manly dan tegas. Ia begitu tidak menyangka, seorang Kim Taehyung bisa sebegitu mencintai dan menjaga Bae Irene. Terhitung bertahun-tahun mereka bersama, nyatanya tidak ada yang pertengkaran berarti selain miss komunikasi. Irene yang dewasa ternyata mampu mengimbangi Taehyung yang masih berpikiran labil.

“Sayang banget, ya, bro?” 

“Jelas, Jim! Liat dia ketakutan, nangis, itu aja udah bikin gue merasa sesak napas. Gimana kalo kehilangan dia? Mati kali gue!”

“Ya, oke, gue doa’in yang terbaik kalo lo mati.”

“Emang sahabat dakjal, ya, lo?”

Perbincangan terus berlanjut. Kali ini berganti topik menjadi Jimin yang curhat tentang Seulgi yang sedikit banyak meniru sifat Irene—cuek dan pendiam—entah apa yang mendasari, tapi itu membuat Jimin tidak nyaman.

Asyik sekali mengobrol, jam makin berlalu cepat. Ponsel Taehyung berbunyi, notifikasi berbeda dari chat biasa membuatnya bisa menebak jika sang kekasih hati menyuruhnya untuk menjemput. Taehyung membereskan barang-barangnya.

“Gue duluan, ya? Ibu negara udah selesai, minta jemput.” ujar Taehyung sambil berdiri.

“Jangan lupa kamu bayar ya, sayang? Aku nggak ada uang, kamu tega ninggalin aku?” drama Jimin dimulai, memasang wajah melas dibuat-buat.

Iya, buat Taehyung rasanya ingin menceburkan sahabat gilanya itu ke Sungai Han. Biar sekalian tubuh bantetnya itu tenggelam dan tidak ditemukan.

“Najisin, bangsat!”

“Anjing, kasar ya kamu sama pacarmu?”

Dan Taehyung melesat pergi begitu saja, membiarkan Jimin tertawa terpingkal karena tingkahnya.

AMANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang