Mungkin hari ini, Irene terlalu memaksa untuk mengikuti perkuliahan. Mengingat ia juga harus mempersiapkan diri untuk KKN, adalah hal yang membuatnya menguras tenaga serta pikiran.
Jika dipikir ulang, Taehyung sudah menyuruhnya untuk istirahat, berdiam diri di kos dan kekasihnya itu akan menghampiri setelah kelas selesai.
Nyatanya, Bae Irene tetap orang keras kepala yang ngotot ingin pergi ke kampus.
Hari Selasa, Irene sudah mengikuti dua mata kuliah. Tersisa satu, namun rasanya ia sudah tidak kuat lagi. Sekedar mengangkat kepala dari atas meja kantin saja rasanya sungguh luar biasa pusing. Tidak yakin jika pembelajaran kali ini, gadis itu bisa berjalan ke kelas dan mengikuti dengan baik.
Inginnya menghubungi Taehyung, namun mengingat lelaki itu ada tambahan sparing basket dengan anggotanya, ia mengurungkan niat. Tidak mungkin mengganggu kekasihnya yang notabene sebagai ketua basket hanya untuk masalah sepele seperti ini—walau nyatanya Kim Taehyung akan menganggap bahwa Bae Irene jauh lebih penting daripada basket—lagi pula, sudah dua hari juga keduanya sulit bertukar kabar. Entah Irene yang menelfon namun tidam terjawab, atau Taehyung yang mengiri pesan namun tidak terbalas.
Dan Irene sedikit memahami itu, karena memang semester awal adalah masa-masa untuk penyesuaian diri dari sks dan juga kegiatan ukm.
Apalagi tim basket sedang berada di posisi tertinggi, ditambah Taehyung yang terpilihenjadi kapten, membuat mereka benar-benar menonjol dan sering menerima pertandingan atau hanya sparing dengan universitas lain.
Irene memejamkan mata, berusaha menetralkan rasa sakit di kepala, sedikit membuatnya mengernyit kala rasa nyeri itu menyerang hingga bagian matanya.
Tidak lama, ponselnya berdering, nama ‘Kang Seul’ tertera di layar, membuat gadis itu segera menjawab panggilan.
“Apa?” suara Irene terdengar parau.
“Lima menit lagi kelas mulai, lo dimana?” tanya Seulgi dari sambungan yang terhubung.
“Kantin, gue nggak ikut kelas, Seul.”
“Rene,” panggil Seulgi. “Lo kenapa? Lo nggak papa, kan?” suaranya terdengar panik.
“Kepala gue sakit banget.” terdengar suara grasak-grusuk dari seberang sana. Bisa diyakini bahwa Seulgi tengah panik dan sekarang sahabatnya itu seperti berlari.
“Rene, gue ke sana, tunggu!”
Irene menggeleng. “Nggak usah, lo kelas aja, gue bisa sendiri kok.”
“Nggak usah sok lo! Gue ke sana!”
Sambungan terputus, Irene hanya menggenggam ponselnya dengan lemas. Pandangannya berkunang ketika ia membuka mata, hingga setelahnya ia tidak tahu apa yang terjadi, rasa sakit yang mendera membuat Irene tidak sadarkan diri.•—•—•
Kim Taehyung sedikit mengumpat. Setelah sparing basket dengan beberapa anggota lainnya, sahabat tidak tahu dirinya ini tiba-tiba menariknya begitu saja keluar dari lapangan indoor universitas. Bahkan ia masih memakai jersey basketnya yang basah akibat keringat, rambutnya terlihat acak-acakan dan Taehyung benar-benas malas menghadapi Park Jimin.
Hanya saja, ia tahu ada sesuatu yang membuat sahabatnya nampak terlihat tidak baik-baik saja. Dilihat dari batang nikotin yang dikonsumsinya menyentuh angka empat, bahkan Jimin memesan kopi hitam yang pahit.
Taehyung itu mudah menebak, sekali melihat ia bisa yakin bahwa Jimin berada dalam titik jenuh—stress—.
“Jadi, lo kenapa?” tanya Taehyung berusaha mengesampingkan emosinya. Ia bertanya dengan tenang sambil menyesap lemon tea kesukaannya.
“Gue putus sama Seulgi,” jawab Jimin parau. “Dia mutusin gue karena katanya, gue nggak bisa ngerti posisi dan perasaan dia.”
Ah, Kim Taehyung benar-benar ingin mengumpat dan menonjok wajah sok galau Park Jimin di hadapannya. Bagaimana bisa lelaki itu menariknya yang bahkan belum beristirahat hanya karena patah hati?
“Kalo putus, ya udah! Muka lo nggak usah sok kayak anak perawan kehilangan jodoh! Lupain, cari lagi yang lain, beres, kan?”
“Bangsat, Kim!” umpat Jimin melempar batang rokok yang sudah habis. “Mulut lo kalo ngomong, ya! Mana bisa gue segampang itu, sedangkan Seulgi udah jadi bagian yang penting buat gue!”
“Ya gampang, tinggal nyeplos doang, kan.”
Jimin menatap nyalang sahabatnya. “Gue do’ain lo juga ngerasain hal yang sama!” ejek lelaki Busan itu lalu membuang tatapan.
“Lah? Lo do’ain gue sama Irene putus? Nggak bakalan mempan! Yang ada gue sama dia malah makin abadi dan cinta kita bakalan selamanya!” ujar Taehyung menggebu dengan smirk tercetak di bibirnya.
Jimin menatap jijik ke arah Taehyung. Sedikit menyesal membawa lelaki yang berstatus sebagai sahabatnya itu untuk sekedar mendengarkan curhatannya—yang belum terucap sedikit pun—.
“Udah? Gini doang?” tanya Taehyung mengejek.
“Brengsek!”
Taehyung terkekeh, mencondongkan tubuhnya dan menatap Jimin dengan pongah. “Kalo lo serius sama dia, perjuangin, lah! Kita bukan lagi remaja yang labil dan bisa sesuka hati mainin perasaan. Cewek tuh, butuh bukti, bukan cuma ucapan. Lo Cuma harus buktiin ke Seulgi kalo pemikiran dia tentang lo itu salah, dan yakinin dia kalo lo bisa jadi sandaran yang pas buat dia”
Park Jimin terdiam, mendengar kata tiap kata yang dilontarkan sahabatnya. Sedikit mendapat pencerahan dan membayangkan apa yang akan ia lakukan setelah ini untuk membuktikan pada Seulgi bahwa ia bisa berubah.
Jujur saja, Taehyung dan Jimin itu sangat bodoh soal cinta, namun mereka tetap berusaha saling memberi saran dan memecahkan masalah bersama jika itu menyangkut kekasih masing-masing.
Namun, ya, tetap saja, Jimin galau maksimal!
“Heh, muka lo nggak usah di melas-melasin gitu! Yang ada jijik gue, goblok.”
“Alah, bacot.”
Dan Park Jimin yang galau, sangat mudah tersinggung bahkan untuk hal kecil sekali pun.
Keduanya hanya diam, Jimin asyik dengan pikirannya sendiri sedangkan Taehyung hanya menghembuskan asap rokol dengan malas. Sesekali melirik ponsel yang berada di atas meja karena menunggu notifikasi dari kekasihnya yang entah sejak kapan susah dihubungi.
Tidak lama, ponsel Jimin berdering—panggilan masuk—matanya menyipit menatap nama pemanggil, detik berikutnya ia menegakkan tubuh sambikm membolatkan matanya.
Ah, kesayangan yang baru beberapa waktu lalu memutuskan hubungan, kini menelfonnya lebih dulu. Ada rasa senang, Park Jimin tersenyum penuh arti hingga—
“Mantan nelfon, belum tentu ngajak balikan,” ujar Kim Taehyung tanpa dosa.
“Halah, bilang lo sirik, soalnya nggak bisa ketemu Irene!”
Jimin mengambil benda pipih itu, menggeser icon berwarna hijau dan panggilan tersambung. Sedikit gugup dan refleks menggigit bibir bawahnya. “Halo?” ujarnya tenang sambil menatap Taehyung.
Lelaki Kim itu mendadak menulikan pendengaran. Ia meraih ponselnya dan berusaha menghubungi nomor kekasihnya, hanya berupa nada sambung, tidak ada jawaban. Taehyung mencoba hingga panggilan ketiga, tetap tidak membuahkan hasil.
Matanya melirik ke arah Jimin yang kini menatapnya dengan pandangan berbeda. Pemuda Park itu nampak menghela napas dan menatapnya khawatir, lalu panggilan terputus.
“Kenapa?” tanya Taehyung. “Belum coba udah ditolak? Atau gimana?” canda lelaki itu.
“Dengerin gue!” ujar Jimin. “Irene pingsan.”
“Hah?!” pekik Taehyung refleks. “Nggak usah bercanda, bangsat, nggak lucu!” lelaki itu berusaha tenang dan terkekeh hambar.
“Irene noona di klinik, Tae. Dia pingsan di kantin dan Seulgi yang bawa dia ke sana.” Jimin berujar.
Detik berikutnya, sahabat aliennya itu berlari kesetanan. Meninggalkan barang-barang di meja cafe, membuat Jimin menghela napas dan merapikan barang tersebut lalu menyusul sahabatnya ke klinik universitas.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANTE
Fanfiction"Noona!" seru Taehyung. Lari ke arah gadis yang berdiri nggak jauh darinya. Irene melotot, pukul kepala Taehyung keras. "Jangan panggil noona!" "Iya, maaf sayang." lembut Taehyung, buat Irene luluh dan memerah di tempat. • • Jadi, bagaimana kehidu...