Sembilan

1.9K 212 11
                                    

Rumah minimalis berwarna putih dengan pagar hitam dan beberapa tanaman hias membingkai menjadi latar sore hari ini. Mobil Taehyung terparkir tepat di depan rumah, lelaki itu menatap bangunan berlantai dua itu dengan tatapan sulit diartikan, lalu pandangannya mengarah kepada Irene.

“Yakin turun?” tanya Taehyung menggoda. Ia melihat Irene hanya duduk gelisah dan menghela napas berulang kali.

Tentu saja. Pertemuan terakhir mereka dengan bukanlah hal yang baik untuk diingat. Dan sudah beberapa bulan berlalu hingga akhirnya Irene berani berkunjung kembali. Walau nyatanya ia benar-benar berpikir keras dalam perjalanan, lebih banyak diam dan saat ini enggan turun dari mobil.

“Apa mau pulang aja?”

“Ih, jangan!”

Taehyung terkekeh. “Ya udah, ayo princess, kok lama?” bujuk lelaki itu. “Aku di sini, nemenin kamu, oke?”

“Kamu yakin? Nggak papa?”

“Iya, sayang.” jawab Taehyung dengan senyuman

Dengan percaya diri] yang sedikit meningkat, Irene membuka pintu mobil diikuti oleh Taehyung. Keduanya berjalan beriringan ke arah pagar dengan tangan saling bertautan erat. Dalam hati Irene hanya berharap kejadian lalu tidak terulang lagi, ia hanya ingin datang ke rumah dengan damai sekalian melepas rindu pada orang tuanya.

Pasangan muda itu berhenti tepat di depan pintu pagar. Sosok wanita paruh baya berusia empat puluhan tertangkap jelas dalam indera mereka, menyirami tanaman sambil sesekali bersenandung ringan. Entah lagu apa Irene juga tidak tahu.

“Mama?” panggil Irene dari luar pagar.

Yang dipanggil langsung menengok, memekik girang mendapati anak gadis semata wayangnya pulang ke rumah dengan lelaki tampan berstatus kekasih anaknya. Mama Bae berlari membuka pagar tergesa, memeluk erat Irene dan mencium hangat anaknya. Beralih ke arah Taehyung dan mengusap lengan anak itu.

“Mama kangen banget sama kalian!” seru Mama Bae senang. “Sesibuk apa, sih kalian sampe nggak inget buat mampir ke sini? Tae, kamu nggak ngingetin Irene ya kalo dia masih punya orang tua?” goda Mama Bae sambil tertawa.

“Anaknya tante aja nih yang susah diajak pulang. Nggak tahu kenapa deh?”

Irene melotot, memutar matanya malas karena selalu saja seperti ini ketika Kim Taehyung dan mamanya bertemu. Namun pandangannya beralih ke arah sang mama, menekuk bibirnya dengan lucu dan mulai memeluk manja. “Aku nggak dibolehin pulang, ma. Katanya nanti takut nggak balik lagi.”adu Irene dengan mata berbinar, membuat mamanya gemas sedangkan Taehyung geleng kepala.

Melihat bagaimana Irene semanja dan sesenang itu untuk pulang membuat Taehyung bernapas lega. Ia sedikit tahu bahwa salah satu faktor dari kondisi Irene yang menurun—selain tugas dan KKN—adalah rindu dengan rumah. Maka dari itu Taehyung sangat antusias ketika Irene menawarkan diri untuk pulang. Tidak seperti biasanya yang selalu ia janjikan dan entah kapan terlaksana.

Tapi Taehyung juga cukup paham, Mama Bae adalah definisi dari seorang ibu yang ingin anaknya bahagia. Namun Papa Bae adalah definisi dari seorang ayah yang ingin anaknya mendapatkan pendamping terbaik. Dan itu adalah tantangan untuk Taehyung.

“Masuk, yuk! Kebetulan mama masak banyak hari ini, nggak tahu kenapa loh kok pengen banget masak, ternyata anak sama calon mantu mama dateng.”

Ketiganya berjalan masuk ke rumah. Tidak ada yang berubah, tetap rapi dengan aroma lavender yang tidak terlalu menyengat. Menenangkan bagi Irene begitu pun dengan Taehyung. Ruang tamu nampak sepi, namun sayup-sayup terdengar suara televisi dari arah ruang keluarga, mereka berjalan dengan obrolan singkat hingga satu sosok terlihat duduk di sofa.

“Pa, nih liat siapa yang dateng!” panggil Mama Bae pada sang suami. Dibalas lirikan malas dari Papa Bae dan kembali fokus pada televisi di depannya.

Mama Bae menghela napas, menyuruh dua anaknya duduk di sofa dan beliau bergegas ke dapur untuk menyiapkan minuman dan camilan. Suasana nampak canggung, bahkan Irene hanya diam sambil memainkan ponselnya.

“Inget rumah kamu?” sindir Papa Bae dengan sinis. “Beberapa bulan nggak pulang, diapain aja kamu sama pacarmu?”

Sarkas sekali, Taehyung hanya bisa memejamkan mata sedangkan Irene menahan amarah. Papanya selalu saja memandang Taehyung dengan sebelah mata. Terlepas dari ketampaan dan kelebihan lelaki itu, bagi papanya, sekali berandalan maka bukanlah pilihan yang tepat untuk anaknya.

“Akunya yang sibuk, bukan Taehyung yang menghalangi aku buat pulang, pa!” jawab Irene datar.

Papa Bae menaikkan sebelah alis mendengar ada bicara anaknya. “Wah, bagus, ya? Kamu berubah banget cara ngomongnya ke papa, ternyata efek pacaran sama anak berandalan in—“

“Stop, pa! Taehyung bukan berandalan!” Irene berdiri dengan emosi diujung tanduk. Taehyung segera menariknya dalam pelukan. Dari dapur, Mama Bae berlari menghampiri mereka, melupakan minuman dan cemilan yang ingin dihidangkan.

“Kamu nggak pernah dengerin kata papa, dia bukan cowok yang baik buat kamu, Irene!” tegas papanya dengan tatapan tajam ke arah Taehyung.

Irene menggeleng. “Dia yang terbaik buat aku, jadi maaf kalo aku nggak dengerin kata papa. Yang tahu itu aku, hati aku, bukan papa!” gadis itu menarik tangan kekasihnya ke tangga. Berjalan ke lantai dua tempat kamarnya berada.

“Kim Taehyung.” Panggil Papa Bae, membuat Irene dan Taehyung berhenti di ujung tangga. “Berani juga kamu ke sini setelah saya usir kamu dua bulan lalu?”

Dan Bae Irene benar-benar menarik tangan kekasihnya terburu, tanpa mempedulikan ucapan Taehyung yang hendak menjawab.

AMANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang