[ 21 ]

31 3 3
                                    


~Happy Reading~


Gemericik air dari kran wastafel menjadi satu-satunya suara ketika Rina mencuci tangannya. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin lalu selang beberapa sekon pintu terbuka. Kedua matanya langsung menangkap bayangan Sheilla yang langsung melirik datar ke arah cermin.

Sheilla menyeringai. Ia melakukan kegiatan yang sama seperti Rina lalu ia menatap balik iris mata Rina melalui cermin.

"Lo masih bahagia aja."

"Apa lagi yang lo rencanain?" Sheilla mematikan kran air. Pandangannya tetap menjurus pada Rina.

"Nggak muluk-muluk kok. Gue cuma pengen lihat lo menderita aja," ucapnya sambil mengedikkan bahu sekilas.

"Nggak cukup apa lo udah bikin gue menderita waktu smp dulu, nggak cukup ha?!" Tanpa sadar nada bicara Rina meninggi. Ia menoleh pada Sheilla dengan napas menderu.

Sheilla menggeleng. "Nggak. Lo harus ngerasain apa yang gue rasain dulu, dong."

"Sebenernya apa salah gue ke elo? Gue nggak pernah ada dendam ke elo, tapi kenapa lo bisa sedendam dan setega itu ke gue. Gue salah apa?"

"Lo emang salah dari dulu. Lo sekolah di Pelita aja udah salah, lo itu pembawa sial, perebut kebahagiaan orang, lo itu murahan tahu nggak, dengan gampangannya elo udah ngrebut pacar orang."

Satu tamparan lolos begitu saja di pipi Sheilla. Rasa panas dan nyeri langsung menjalar membuat pipinya merah seketika. Sheilla melotot lalu dijambaknya rambut Rina hingga cewek itu meringis. Rina berusaha melepaskan tangan Sheilla. Namun ia kesulitan karena Sheilla memelintir rambutnya hingga rasanya rambut itu akan lepas dari kepalanya.

"Denger! Gue nggak akan ngebiarin lo bahagia sampai gue puas lihat lo menderita. Jadi, siap-siap aja buat besok," desis Sheilla sambil terus menekan pelintiran rambut Rina.

Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya muncul lalu ia melihat Sheilla dan Rina di depan wastafel sambil tersenyum. Sheilla menampilkan seyum manisnya, membalas wanita itu.

Sheilla telah melepaskan pelintirannya dan kini ia tengah merapikan rambut Rina dengan lembut. "Rambut lo kok lusuh gini sih, lain kali bawa sisir, ya." Setelah wanita paruh baya itu masuk ke dalam bilik toilet, Sheilla menatap tajam pada Rina, sebuah seringaian muncul di bibir pinknya. Kemudian ia mendorong Rina hingga punggung cewek itu menghantam dinding cukup keras. Sheilla pun keluar dari toilet.

Rina memandang kepergian Sheilla dengan tatapan nanarnya. Setetes air mata mengalir lancar membelah pipinya, disusul dengan tetesan lainnya yang kini semakin deras bak air sungai yang mengalir ke hilir. Rina menutup mulutnya dengan tangan, berharap isakannya tak menimbulkan suara yang membuat curiga wanita paruh baya tadi.

Rina menunduk menghadap cermin. Kedua tangannya meremas ujung wastafel hingga buku-bukunya memutih. Cewek itu tak kuasa menahan sesak di dada hingga akhirnya ia menyalakan kran air sekadar untuk meredam isakannya yang tak bisa ia tahan lagi.

-----

"SMA Angkasa."

Rintang mengangguk sekilas. Tak berapa lama setelah itu ia mengerutkan kening seolah sedang mengingat sesuatu. Ia merasa tak asing dengan nama sekolah Dela. Bukan. Bukan hanya masalah nama sekolah, ia teringat seseorang yang juga bersekolah di sana.

Lampu bohlam di benaknya seketika menyala ketika mengingat bahwa SMA Angkasa adalah sekolah yang melawan sekolahnya saat turnamen basket beberapa waktu lalu, dan ia juga baru ingat SMA Angkasa adalah sekolah..

"Lama, ya?" tanya seseorang membuat Rintang dan Dela menoleh. Mereka mendapati Sheilla yang baru tiba dari toilet, sendirian.

"Rina mana?"

LAKUNA [#1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang