Chapter 10

4 2 0
                                    

Ini hari pertamaku menyambut pagi tanpa dia, tapi senyuman masih tercetak jelas di bibirku. Semoga hari ini menyenangkan.

"Bunda, Angel berangkat ya. Ayah, ingat perjanjian kita" pamitku dengan nada jahil, jelas saja ayah mendengus kesal. Bagaimana bisa sejak pertengkaran hebat di club malam itu, aku mengancam kalau aku akan membawa bunda pergi dan mengurus surat cerainya jika masih bermain dengan wanita lain. Oh sungguh kabar bahagia namun menyisakan luka.

Seperti biasa, saat di sekolah aku harus menunduk agar mata indahku tidak ternodai oleh tatapan kebencian teman sekolahku. Pagi ini terasa menenangkan sekali, bersenandung dan mendengarkan lagu favorit. Sialnya, saat di lorong kelas tak sengaja aku menabrak cowok.

"Duh, apaan ya? Gak tahu apa ada orang jalan?" gumamku kesal.

"Nih cewek punya mata gak sih? Lo tuh kalo jalan pake mata dong, nunduk mulu. Cari duit lo, berapa sih? Sini gue bayar, palingan juga anak cupu yang gak mampu." Deg, berasa de javu deh. Kayak pertemuan pertamaku sama Kak Johnson.

"Heh kutu badak, lo kalo ngomong pedes amat? Sarapan pake sambal bajak ya? Pantesan tuh mulut bikin kuping gue panas." sahutku sambil berlalu meninggalkan. Siapa sih yang gak sebel diteriaki macam itu.

Baru saja maju 5 langkah, ada yang narik tanganku.

"Sorry, kelas 11 Ipa 3 di mana ya? Gue Fanto, salken ya." buset baru lihat cowok ganteng kayak dia nih, cuma dia nyebelin.

"Yok ikut gue" sahutku.

"Btw lo sekelas sama gue dong ya?" iseng aja nanya-nanya gitu, siapa tahu nyaman.

"Hmm" dingin banget kayak sifatnya Kak Johnson waktu malam pertengkaranku di club. Eh, tuh kan inget dia lagi. Kok aku kangen dia ya?

"Cie yang jalan bareng ama anak donatur, cie cie. Korban baru nih" teriak temen sekelasku. Waduh masalah nih, pergi ajalah.

Kriiiiing

Bel masuk berbunyi, seketika guru pelajaran datang.

"Selamat pagi anak-anak, dan untuk Fanto selamat beradaptasi dengan lingkungan baru" ucap Bu Suci dengan senyuman yang yaa, sedikit dibuat-buat. Secara beliau adalah guru yang tak suka tersenyum, apalagi peduli. Pelajaran kembali dimulai.

"Siapa yang bisa menjawab, silahkan angkat tangan" ucap Bu Suci, sontak aku mengangkat tanganku. Semua orang memandangku remeh tapi dia berbeda. Dia menatapku seolah penuh tanya dan sedikit tidak yakin mungkin.

"Angel, silakan kerjakan soal di papan. Saya ragu kamu bisa menjawabnya" sedikit mencaci memang, tawa di kelas cukup menggelegar.

"Sebagai kesepakatan jika saya bisa mengerjakan, izinkan saya keluar lebih awal" ucapku cukup datar. Memang sedikit aneh, sebab istirahat masih kurang 1 jam lagi. Tapi mengingat Bu Suci adalah wakil kepala sekolah, mungkin akan sangat menyenangkan jika bisa mempermalukan.

"Baiklah" tantang Bu suci, segera ku kerjakan sebisaku. Namun entahlah, tatapan itu tak bisa ku artikan ketika mengoreksi jawabanku.

"Bagaimana kamu mampu mengerjakan? Secara kamu ini siswi yang sangat malas dan bandel" tanya Bu Suci.

"Bandel? Saya tidak pernah membuat point di sini, toh tidak akan ada yang peduli jika saya bertingkah. Anda sudah termakan omongan sampah dari mereka. Anda boleh terperdaya oleh kelakuannya, tapi maaf perihal saya anda harus memahami dari saya. Karena mereka hanya tahu nama saya, bukan siapa saya" ucapku dengan senyuman manis, lantas keluar dari kelas.

"Hah, leganya bisa lepas dari jahanam yang laknat itu. Mungkin kantin dan perpustakaan akan sangat menggiurkan" ucapku mengusap perut laparku. Setelah memesan makanan, aku mencari meja yang cukup nyaman. Belum juga sesuap bakso masuk dalam mulutku, tiba-tiba saja terasa tepukan di pundakku. Sontak aku kaget ketika melihat dia ada di depanku dengan memakan baksonya.

"Lo ngapain di sini? Sono balik ke kelas. Ntar dimarahi lagi sama ratu gosip" sahutku jutek.

"Menapaki jejak" ucapnya sambil mengangkat bahu.

Entah kenapa bakso di hadapanku lebih menarik daripada memandang dia.

"Kenapa mereka semua seolah benci sama lo?" tanyanya sambil mengunyah bakso.

"Gak perlu tahu juga" jawabku lalu meninggakan dia sendirian.

Sebetulnya dia itu tampan dan sedikit manis. Namun, setiap aku menatap matanya selalu terbayang kenangan bersama Kak Johnson. Semua perilaku dan tingkahnya selalu membuatku teringat tentang luka itu lagi. Semua itu nampak sangat jelas, bayangan tentang perpisahan yang menyakitkan. Aku hanya merindukan dia, aku ingin memeluknya. Aku ingin melepaskan beban ini, aku ingin mendengar tawa renyahnya. Aku ingin menghabiskan sore bersamanya, membayangkannya saja membuat hatiku tergetar. Tanpa kusadari setitik air mata membasahi pipiku.

"Tuhan, sekali lagi aku lemah karenanya. Aku hanya merindukannya, apakah dia akan kembali? Kumohon izinkan aku menunggunya, jangan bawa aku pulang sebelum sempat menemuinya" gumamku sambil menunduk. Saat ini aku sedang duduk meringkuk di sudut perpustakaan, entah apa yang membawaku ke sini.

"Sejak kepergian Kak Tiar, dia jadi sedikit pendiam. Memang gadis tak tahu diri, beraninya membuat pangeran kita tidak betah di sini" sindir seorang perempuan di meja depan. Aku tahu betul siapa yang dimaksud.

"Buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya, jangan bilang bahwa orangtua nya juga adalah.." belum sempat terucap ada yang memutus ucapannya.

"Iya, orangtua nya Angel itu emang pasangan berengsek. Ayahnya adalah penipu ulung dan ibunya adalah seorang pelacur. Angel lahir dari rahim yang tak diharapkan, dan dia adalah anak haram" lagi-lagi tikaman itu kurasakan, tepat menghujam hatiku. Ternyata sama, pelaku itu adalah Klara. Tanpa pikir panjang, ku seret tangannya menuju lorong yang amat sepi hingga dia mengaduh kesakitan.

"Anjing!! Lepasin tangan gue!!" teriakannya berhasil membangkitkan amarah yang berusaha kupendam.

"Lo marah karena gue sebarin aib lo? Lo emang anak yang gak diharapkan. Harusnya lo tuh gak ada di dunia ini!! Lo cuma anak pembawa sial, sekali lagi gue ulangi bahwa lo anak haram!!"

PLAKKK!!

"Buat lo yang menghina keluarga gue".

PLAKKK!!

"Buat lo yang menghina gue".

PLAKKK!!

"Buat lo yang udah ganggu ketenangan hidup gue".

Aku mendorong tubuhnya pada tembok, lalu mencengkeram dagunya.

"Lo bilang nyokap gue pelacur? Pasti gue punya jaringan luas tentang prostitusi. Lalu, bagaimana jika lo yang gue jual di pasar gelap? Gadis cantik kayak lo pasti mahal kan?" seringai iblis menghiasi senyum di bibirku.

"Lo bilang gue anak haram, pasti gue identik dengan pendosa kan? Gimana kalau gue ngebunuh lo? Dosa yang gue dapat selama ini bakalan seimbang dengan kepuasan batin gue" mataku berubah menjadi gelap, seolah menatapnya penuh kebencian. Cengkeraman ku di dagunya semakin kuat, hingga wajahnya memerah menahan sakit. Tapi senyuman iblis masih tetap ku suguhkan untuknya.

"Lo tahu betul kan siapa gue?. Jadi jangan pernah ganggu gue atau lo gak bakal hidup lebih lama. Ingat baik-baik sayang" sebelum pergi, aku melepaskan cengkeraman itu dengan keras hingga terdengar benturan antara kepala dengan dinding.

"Arghh!! Dasar psikopat!!!" teriaknya sambil mengerang kesakitan. Ku tatap wajahnya sambil tersenyum.

"Gue suka gaya lo" lalu pergi meninggalkannya yang terduduk sendirian.

Bagiku kekerasan adalah hal yang menyenangkan, semua masih menjadi batas wajar jika kita merasa terancam. Sungguh hatiku sakit ketika melihat orang terluka. Namun, lebih perih lagi ketika aku membiarkan mereka merangsek luka yang belum sempat mengering. Aku percaya bahwa Tuhan Maha Tahu, sehingga aku tak perlu menjelaskan alasan dari ini semua. Cukup hatiku yang berbicara pada-Nya.

Saat aku hendak masuk kelas, tiba-tiba ada yang menarik tanganku.

"Jadi itu alasan lo, gue tahu semua. Termasuk jiwa liar yang ada dalam diri lo" bisiknya lalu masuk ke dalam kelas dengan wajah datar. Sial, ternyata dia mengikutiku.

Bagian JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang