"Kak, ini hari pertama tanpa lo. Gue gak nangis kok menghadapi masalah hari ini. Gue cuma masih belum siap kehilangan lo, gue mendadak lemah di hadapan lo. Lo kemana sih? Kenapa lo pergi tanpa alasan yang jelas? Gue takut sendirian tanpa lo." Tanpa kusadari setitik air mata berhasil meluncur menghiasi pipiku. Menepati janjiku kemarin, menunggu senja di taman ini. Mataku menelusuk rerumputan di hadapanku, mengingat tentang dia yang terakhir mengisi hatiku.
"Entah masalah apa yang lo punya, gue gak pernah ngerti." ucap seseorang sambil menempelkan air mineral yang dingin di dahiku.
"Gue gak kenal sama lo, jadi gak perlu sok di hadapan gue. Gue gak butuh kepedulian lo, dan gue bisa beli sendiri tanpa harus mengemis sama lo" ucapku dengan nada datar dan masih menatap rumput, seolah enggan menatap wajahnya. Aku tahu betul siapa yang hadir di hadapanku, dia Fanto. Orang yang selalu hadir dengan segala tingkah sampahnya.
"Gue cuma inget sama seseorang, makanya gue peduli. Tapi, kalo lo gak mau gak apa-apa kok." sahutnya sambil duduk di sampingku.
"Mungkin kita sama, punya kenangan dan memori indah di tempat ini. Dulu gue pernah suka sama cewek, dan bodohnya gue malah meninggalkan dia di sini tanpa alasan yang jelas." ucapannya memecah keheningan yang ada.
"Hal yang paling gue takuti adalah dia gak bisa nerima kenyataan bahwa gue suka sama dia. Dia istimewa dengan segala hal yang sangat sederhana, termasuk dia yang selalu tegar menghadapi masalah." entah kenapa, aku ingin mendengar ceritanya terus berlanjut. Aku ingin mendengar sesuatu tentangnya meski itu hanya basa-basi.
"Bagi gue semua itu adalah hal yang tepat, tapi ternyata gue salah. Dia adalah orang pertama yang terpuruk ketika gue pergi, dia adalah satu-satu nya orang yang paling kehilangan, dan gue cuma bisa mengamati tanpa bisa kembali untuk merengkuhnya." aku mulai memaksa diri untuk melihat wajahnya, mengamati eksresi yang terpampang jelas di hadapanku.
"Gue berengsek, membiarkan orang yang gue suka tersiksa oleh perasaannya sendiri." Nampak sebuah senyuman yang amat getir terlukis di wajahnya, menggambarkan betapa menyakitkan hal yang dirasakannya.
"Kenapa lo gak jemput dia? Berusaha meyakinkan perasaan lo sama dia, lagian dia kan juga punya perasaan yang sama kayak lo" ucapanku membuatnya menoleh padaku.
"Gue pengen, tapi gue gak bisa" aku mengernyitkan dahi, sebab masih bingung dengan jawaban yang dia berikan.
"Lo tuh cowok, jangan pernah jadi pengecut. Harusnya lo yakinkan dia, karena cewek juga butuh bukti!!" teriakku sedikit emosi, tiba-tiba dia memalingkan wajahnya dariku. Menatap kosong ke depan.
"Gue terlambat, dia udah pergi. Dia udah meninggal 1 tahun yang lalu. Saat itu gue memutuskan untuk menyatakan perasaan dan menjadikan dia sebagai kekasih. Semua udah gue persiapkan, termasuk niat di hati gue. Gue datang ke rumahnya, bersamaan dengan itu gue bawa seikat bunga kesukaan dia. Rumahnya sepi, saat itu gue kira emang dia lagi keluar. Ternyata gue salah, pembantunya bilang bahwa dia udah meninggal saat pulang dari taman ini." ucapannya seolah tak bernyawa, sedikit banyak aku merasakan apa yang dirasakannya.
"Sampai detik ini gue masih belum bisa menerima bahwa dia udah pergi. Gue yakin dia masih ada di sini, gue percaya itu" lanjutnya. Tanpa ku sadari tanganku terulur menyentuh bahunya, membuatnya menatap kedua mataku.
"Mungkin benar dia udah gak ada, tapi dia masih hidup. Dia masih nyata dalam hidup lo, dia ada di sini" ucapku seraya menunjuk dadanya. Menyadari bahwa aku berani menyentuhnya, aku memalingkan wajah menatap lampu taman yang jauh di hadapanku.
"Gue tahu ini berat, karena gue juga merasakan apa yang lo rasakan. Gue kehilangan orang yang gue sayang, tepat di sini. Dan kejadian itu baru kemarin, memori tentang dia masih sangat jelas bagi gue." lanjutku lirih sambil menunduk. Lagi-lagi air mataku meleleh mengingat kepergiannya, semua yang telah ku lewati terasa sangat melekat dalam hidupku. Namun, tangisku terhenti ketika sebuah usapan lembut menghapus jejak air mataku.
"Gue yakin lo pasti bisa," ucapan Fanto mampu membuat hatiku sedikit berdesir, merasakan betapa tulusnya semangat yang dia berikan.
Kami terdiam, menatap semburat senja yang menghias cakrawala. Entah, aku merasa sedikit bebanku terangkat karena hadirnya. Satu fakta tentang dia yang sesungguhnya, bahwa ternyata dia penikmat lara.
"Ini adalah kali pertamanya aku menikmati senja bersama wanita setelah kepergiannya, terima kasih telah menemani." Senyuman tulus terukir di wajahnya, membuatku ikut tersenyum. Seolah beban kami telah meluap bersama senja.
"Lo mau pulang sekarang?" Pikiranku melayang mengingat hari yang mulai gelap, sontak kujawab pertanyaannya dengan anggukan kepala.
"Gue antar," Dengan senang hati aku menerima, lumayan menghemat uang.
Saat di perjalanan, aku kembali mengingat kejadian sore tadi. Saat dia membuka siapa dia yang sebenarnya, saat 1 bebanku terlepas bebas. Saat pertama kalinya senyuman tulus terukir jelas di wajahnya, saat aku melihat kebaikan tentangnya. Lamunanku terhenti saat kurasakan sebuah elusan di tanganku.
"Jangan melamun, udah sampai. Ini kan rumah lo?" ku balas dengan anggukan. Belum sempat aku turun dari motornya dia menggenggam tanganku.
"Sekali lagi makasih buat hari ini, gue gak tahu apa yang istimewa dari lo. Tapi, rasa nyaman ini terlalu dini buat gue sebut suka. Entah, mungkin suatu saat kita bisa menjadi sepasang sepatu yang berjalan beriringan." kurasakan debaran jantung yang sedikit memburu. Lantas kulepas paksa tanganku dari genggaman nya.
"Iya, udah sono pulang. Udah malem juga, pergi sana gak sudi gue lihat wajah lo" sahutku memecah suasana yang canggung.
"Udah diantar juga, bukannya bilang makasih malah teriak-teriak. Kan sakit kuping gue, dasar kutil badak. Udah gue balik dulu, jangan kangen ya." sebelum pergi dia meninggalkan senyuman devil yang menggelikan, membuatku merasa ilfeel.
___
Setelah mandi, aku menuju balkon kamarku. Menghirup udara malam, dan menikmati dinginnya angin yang menusuk.
"Kak, lo di mana? Gue tahu lo punya bahagia, tapi apa lo tega membuat gue nunggu? Sejenak gue bisa lupain lo tapi saat keheningan datang, rindu dengan sombongnya memorak-porandakan hati. Semua tentang lo masih melekat, senyum, tawa, marah, dan kecewa lo masih terngiang jelas." gumamku ketika menatap bintang.
"Andai dulu gue gak jatuh cinta, mungkin sekarang gue udah bahagia. Kalau boleh, gue pengen cari bahagia sama Fanto. Gue percaya lo bahagia sama cewek itu." senyumku teramat hambar untuk menyambut sinar malam.
"Kenapa ya? Tuhan menciptakan hati, jika hanya untuk disakiti. Sampai detik ini bayangmu masih terlalu nyata buat gue, sesak rasanya ketika kehilangan orang yang sangat kita cinta." Terulang kembali kesedihan ini, menunduk menatap bumi yang seakan sempit mengimpit jiwa. Mataku menatap nanar setetes darah yang jatuh dari hidungku, kenapa harus di saat seperti ini? Dengan gerakan cepat aku menutup hidung dengan lembaran tisu yang berada di sampingku. Entah sebab apa, napasku terasa amat sesak. Seolah Tuhan menginginkanku segera berada di sampingnya.
"Tuhan, aku tak pernah marah pada takdir-Mu. Aku hanya marah pada hati nuraniku yang masih saja munafik atas apa yang Kau beri. Aku berjanji akan bersyukur untuk apa yang aku miliki saat ini, tapi tolong jangan buat aku kembali merasa kehilangan. Sudah cukup keluargaku yang hancur saat ini, semua telah hilang hingga memaksa kesunyian datang." bersamaan dengan menutup pintu balkon, aku memasuki kamar untuk menutup mata, sejenak menghapus jejak kepedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagian Jiwa
RomanceSebuah cerita yang mengalun indah mengikuti langkah seorang gadis bernama Chika Angelina Kids. Membawamu menikmati hamparan kisah hidupnya yang berliku dan sarat akan rahasia. Hingga perlahan takdir mulai memancarkan sinarnya hingga menyentuh sudut...