Chapter 12

6 1 0
                                    

"Lo gak apa-apa? Muka lo pucat, lebih baik istirahat aja ya?," Tanya Fanto padaku. Ya, sekarang kami berada di taman kota. Sengaja kami tidak masuk sekolah, entah aku ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamanya. Perlahan aku menatap matanya, bayangan bagaimana pertemuan pertama kita membuatku mengulum senyum tipis.

"Kalo suatu saat gue pergi, lo ikhlas gak?," Tanyaku memecah keheningan diantara kita.

"Kalo lo pergi buat cari bahagia, kenapa enggak." Sahutnya santai sambil sesekali menikmati kripik kentang di tangannya. Aku dibuat terkejut saat tiba-tiba dia bersandar ringan di bahuku.

"Kalo gue bisa buat lo jatuh cinta, apa lo janji gak bakal pergi? Gue bisa kok buat lo bahagia, jadi lo gak perlu pergi." Kalimat itu sederhana. Namun, cukup mengacaukan pikiranku. Kenapa aku takut kehilangan dia?

"Gue pengen jalan bareng, yuk!" Tanganku tiba-tiba ditarik olehnya. Genggaman tangannya terasa hangat hingga merayap jiwa, entah kemana langkahnya akan membawa.

Saat sampai di depan kolam, mendung mulai menggumpal di atas sana. Air mulai berjatuhan dari atas langit. Hujan, aku benci dia. Kenapa di saat seperti ini malah turun hujan?.

"Ayo pergi, gue gak suka hujan. Nanti lo sakit, ayo berteduh." Ajakku pada Fanto yang masih diam duduk di tepi kolam. Aku masih terus menunggunya bergerak memberi jawaban, tapi ia justru memberiku isyarat untuk duduk di sampingnya.

Baju kami sudah basah kuyup, dinginnya sekitar begitu menusuk kulit. Hingga lagi-lagi darah mengalir dari hidungku. Aku segera memalingkan wajah darinya, takut jika ia menyadari kelemahanku.

"Chika, lo gak apa-apa?" Tanyanya panik melihat darah yang semakin pekat. Gawat, aku harus segera pergi darinya. Tidak ada yang boleh tahu tentang aku, cukup Tuhan dan aku yang tahu. Namun, saat aku berdiri hendak berlari meningalkannya kakiku terasa kaku. Tanganku ditariknya berlari menuju halte terdekat, apakah ia mengajakku berteduh? Aku masih terkejut melihat ia yang melepas kemejanya yang basah. Tiba-tiba Fanto mengusap darahku menggunakan itu. Jantungku berdebar hebat, nafasku tak menemui irama saat berada di dekatnya.

"Plis, lo jangan sakit. Gue takut lo kenapa-kenapa. Jangan pergi ya?" Ucapnya sambil memeluk erat tubuhku.

"Lo bodoh, kemeja lo bisa kotor. Lepasin, kaos lo jadi kotor kena darah gue. Lo tuli ya?!!" Bentakku memaki Fanto. Jelas saja aku tidak suka, bajunya terkena darahku yang masih saja mengalir. Namun, saat aku hendak memakinya lagi kepalaku terasa sangat pusing. Bagai dipukul ribuan batu, aku merasa sakit yang teramat sangat. Tiba-tiba tubuhku terasa sangat ringan dan semua mendadak pandanganku mengabur.

"Lo bisa, pliis bertahan buat gue." Ucapnya sambil memeluk erat tubuhku dan mengecup puncak kepalaku berulang kali. Dan hanya itu kalimat terakhir yang mampu terrekam oleh memoriku. Sebelum semua hilang begitu saja.

Bagian JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang