Joan Bintang Aditara
Aku tahu seharusnya aku tidak dapat bagian untuk bercerita soal Sarah dan Bang Karten.
Aku cuma pengamat, sebagaimana Alin, Bang Nanang, Bang Johnny, atau orang lain di luar kedua orang itu.
Aku tahu hampir seluruh percintaan Bang Karten dan Sarah.
Mulai dari mereka PDKT sampai mereka sendiri memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka.
Dan sebagaimana nasib para pengamat umumnya, aku cuma bisa memperhatikan mereka dan kadang memberikan saran kalau Sarah bertanya ke aku.
Peranku sendiri sebenarnya tidak terlalu penting, tapi mungkin untuk perkembangan hubungan kedua orang ini aku ada sedikit peran yang jelas signifikan memberikan mereka kemajuan.
Terlebih ketika Bang Karten menelfon Sarah di malam itu.
Waktu itu aku sedang mengambil shift malam di Antologi.
Dan Sarah memutuskan untuk bermalam di cafe demi mengerjakan segunung pekerjaannya.
Sampai waktu menunjukkan pukul 2, tidak terjadi apapun.
Dan selama aku menjaga cafe , sudah beberapa kali aku mengatakan hati-hati untuk yang shift-nya selesai sebelum aku.
Bang Donny, manager cafe yang bertugas malam itu akhirnya memutuskan untuk ikut menjaga cafe hingga esok pagi.
"Temen lo gak pulang, Jo?"
"Katanya gak sih, Bang. Dia mau nyelesein semua tugasnya."
"Kasih ini gih ke dia."
Pesanan miliknya kemudian aku antar ke meja dan aku juga sempat berbasa-basi dengan Sarah sebelum akhirnya Bang Donny memanggilku karena kewalahan menghadapi customer yang entah dari mana datangnya membludak begitu saja.
Dari jam 10 hingga 12 aku dan Bang Donny bahu-membahu menyelesaikan berbagai orderan yang anehnya malam ini cukup ramai.
Hingga akhirnya para pelanggan mulai menurun dari pukul 12 hingga pada pukul 2 hanya tersisa Sarah dan 2 orang lainnya.
Aku mendatangi Sarah.
Aku bisa membaca dengan jelas kalau ia sangat amat kelelahan menghadapi tugasnya.
"Sar, muka kamu udah suntuk!"
Sarah hanya mengangguk lemah sambil masih memperhatikan layar laptopnya.
"Kantong mata kamu tuh udah mulai keliatan!"
"Hah massa sih?"
Aku mengangguk pasti. Keadaannya dengan panda saat ini tidak jauh berbeda.
"Gue ke kamar mandi dulu aja deh!"
Dan akhirnya dia meninggalkan barang-barangnya kepadaku.
Hingga kemudian, handphone Sarah berdering dengan nama "Karten" tertera dengan jelas di layarnya.
Aku sama sekali tidak berniat mengangkatnya.
Mungkin ia hanya iseng atau tidak sengaja terpencet.
"Hp kamu tadi bunyi."
Sekembalinya Sarah, ia langsung duduk dengan pertanyaan yang jelas tergambar lewat raut mukanya.
"Dari siapa?"
"Tuh, telfon lagi."
Nama Karten masih sama tercetak di layar itu, membuat Sarah sedikit kebingungan.
Aku berani menebak sekarang mood Sarah pasti langsung turun.
Aku kira setelah 3 kali ia akan berhenti.
Namun, kemudian semua dugaanku terpatahkan.
Bang Karten tidak berhenti-henti misscalled Sarah hingga mencapai angka 32 kali.
"Sar, mending kamu ang—"
Belum selesai menyelsaikan saran untuk mengangkatnya, Sarah sudah berlari keluar sambil membawa handphone miliknya.
Meninggalkan aku dengan barang-barangnya lagi.
Dari kaca jendela, terlihat jelas berbagai emosi yang tercampur aduk menjadi satu melalui wajahnya.
Marah, khawatir, lega, takut, dan sedikit rasa rindu terlihat di wajah Sarah.
Sarah kemudian masuk ke dalam setelah paling tidak 5 menit berada di luar.
Dan yang kemudian terjadi adalah Sarah menangis di depanku sambil masih memegangi handphone miliknya.
It was confusing.
Aku sama sekali tidak bisa membaca apa yang terjadi di luar tadi dan apa yang terjadi didalam pikiran Sarah.
Yang kemudian aku lakukan adalah duduk di sebelah Sarah dan mendekapnya hingga ia tenang di beberapa waktu yang tersisa dari shift-ku.
I said it clearly that everything will be alright, but it didn't help.
It is indeed very complicated.
Introducing
Doyoung NCT as Ananda Donny
KAMU SEDANG MEMBACA
Why'd You Only Call Me When You Are High
FanfictionTips: never answer his call, especially at 2 am