5

117 20 3
                                    

Karten Ghiandra Bagaskara

Nama Labuan Bajo terpampang jelas di layar hp gue.

Cita baru aja ngebooking satu tiket pesawat untuk gue dan dia ke Labuan Bajo selama liburan nanti.

Rencananya kami berdua akan tinggal di sana paling tidak 5 hari.

"Cit, hotel udah?"

"Udah dong mas, nih aku kirim invoice-nya!"

Dan kemudian satu email baru saja masuk ke hp gue.

Gue dan Cita hari ini memutuskan untuk keluar kosan dan makan di salah satu cafe dekat kosannya.

Antologi, namanya.

Gue bisa melihat beberapa mahasiswa sibuk dengan laptopnya atau mengerjakan urusan tugas kelompok sambil duduk di beanbag yang disediakan cafe.

Untuk ukuran cafe mungil di tengah kota seperti ini, cafe ini lumayan nyaman.

Kopinya juga lumayan, intinya bukan sembarang kopi.

Cita masih sibuk di depan laptopnya.

Memang ia sendiri yang cerita kalo mau ngerjain beberapa hal kayak proposal event, paper, dan tugas lainnya yang masih dia emban.

"Jangan di cancel, lho!"

"Hmm oke deh, aku cancel."

"Ih, mas ah!"

"Hehehe, bercanda."

Dan lantas gue mencubit pipinya hati-hati.

Cita selalu lucu ketika gue ganggu atau gue jail ke dia.

Dia akan cemberut layaknya anak umur 5 tahun di mata gue.

Padahap sejatinya dia sudah 21, bahkan tingginya saja mencapai 170.

"Mas, kemarin sama Kak Johnny abis minum?"

"Kapan?"

"Sabtu kemarin tuh, kan rame di snapgramnya kak Johnny."

Gue diam sebentar.

"Hmm enggaklah. Ngapain juga?"

"Oooh. Siapa tau ikut, itu kan isinya anak-anak HIMA."

Gue menggeleng sambil tersenyum kemudian melanjutkan mengusap kepala Cita.

Cita membalas gue dengan tersenyum dan lanjut mengerjakan tugas dia di laptop.

I'm so sorry, darling, I need to lie.

Cita akan panik, begitu mendengar atau tahu kalau gue baru saja minum dengan anak HIMA.

Sejujurnya, itu bukan hal yang fatal dilakukan.

Hanya saja, gue males, terlampau malas, mendengarkan celotehan dan nasihat Cita betapa bahayanya minum and stuff.

"Bang Karten?"

Dari semua cafe di sekitar kampus, kenapa harus ada Joan.

Dan dia yang serve  pesenan gue dan Cita lagi.

"Eh, Joan!"

Cita dengan semangat high five sama Joan.

Sedangkan gue sendiri cuma menganggukkan kepala dan senyum dikit.

"Satu Taro Blend sama satu Americano."

Dua cangkir berisi minuman yang berbeda itu diletakkan tepat di depan gue dan Cita.

Dengan malas, gue tarik cangkir gue sendiri.

"Thanks, Jo."

Joan langsung balik ke meja kasir setelah selesai melayani gue dan Cita.

"Joan tuh hardworker banget ya. Sayang gak punya pacar." Cetus Cita sambil sibuk mengetik tugasnya.

Gue sesekali melirik ke arah Joan, bukan bermaksud stalking, cuma pingin cari pembuktian untuk kata hardworking.

Gue sadar, semenjak gue meminum Americano ini, Joan mengawasi gerak-gerik gue.

"Cit, keluar ya. Mau sebat."

Tanpa pikir panjang dan menunggu jawaban Cita, gue langsung keluar dan duduk di dekat parkiran motor.

Tempat ini cukup jauh dari keramaian dan atraksi publik.

Amanlah biar asap rokok gue gak ganggu orang lain.











"Bang!"

Baru 5 menit gue meletakkan pantat gue, gue bisa melihat Joan datang ke arah gue.

Entah apa maksudnya.

"Gak kerja?"

Joan berdiri tepat di sebelah gue dan diem, gak niat buat jawab pertanyaan gue.

"Lo mau ngapain?"

Joan kemudian mengalihkan pandangannya dari gue sambil membuang nafas.

You can clearly see that something is bothering him.

"Jangan ganggu Sarah lagi."

"Hah?"

"Aku cuma ngasih tau aja, Bang. Sarah udah bahagia. Udah move-on."

"Apasih? Ngapain ngomongin Sarah?"

"Aku ingetin aja, Bang. Jaga baik-baik cewek yang sekarang. Jangan ganggu Sarah lagi."

Dan Joan langsung pergi dengan muka merah padam sekaligus dengan tangan terkepal yang jelas-jelas bisa gue lihat.

Gue berani taruhan dia pasti marah besar.

Why'd You Only Call Me When You Are HighTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang