14

53 17 2
                                    

Yusril Nanang Mahendra

Lo paham gak sih, jadi temen sekamarnya Karten itu ibarat kayak ngurusin bayi.

Kalo dia mabok kudu gue yang ngurus.

Kalo dia patah hati gue yang menghibur.

Kalo dia sakit gue yang ngerawat.

Kalo dia marah gue kudu nenangin.

Kalo dia gak bawa kunci kamar gue kudu ngasih kunci gue.

Kayaknya gue bisa dapet titel "Pacar Karten" dibandingkan cewek-cewek yang sejauh ini udah pernah deket sama dia.

Harusnya dia bayar gue buat semua jasa gue.

Bukannya gue gak ikhlas, cuma kadang gue juga kesel karena Karten sendiri suka lupa gimana caranya ngurus diri sendiri.

Gue gak egois kalo masalah makanan, tapi kadang sikap Karten bisa bikin gue egois hingga gue lupa bahwa kodratnya manusia adalah untuk berbagi.

Gue gak iri sama sekali dengan segala kecukupan Karten, yang jauh beda dari gue.

Gue juga gak iri dengan Karten yang memiliki link-link orang dalam yang dapat dia gunakan kapan aja untuk memuaskan keinginannya.

Gue cuma lelah tiap kali menghadapi Karten yang kadang suka berbuat seenaknya.

Tanpa pikir panjang apa efeknya dari yang dia sendiri lakukan.

Buset dah, gue ngejelasin Karten udah kayak dia pacar gue sendiri.

Gue yakin, Karten tetap bisa hidup tanpa ada kehadiran gue.

Tapi kadang gue merasa gak manusiawi aja kalo gak menolong Karten.

Walaupun pada akhirnya gue akan keki, mengeluh, dan kesal dengan segala tingkah lakunya.











Contoh konkritnya hari ini.

Ini adalah hari entah ke berapa gue harus menjemput Karten di Sakapatat.

Karten mabuk berat.

Selama di telfon, Johnny mengatakan bahwa Karten sebenernya sudah tidak sanggup minum namun ia paksakan.

Johnny juga ingin membicarakan sesuatu ketika gue sudah sampai di Sakapatat.

"Nang!"

Jeffrey, Johnny, dan Tara membantu memapah Karten berjalan ke mobil yang gue tumpangi.

"Ati-ati ya, Nang. Tadi dia sempet muntah di dalem!" ingat Tara.

Tara dan Jeffrey kemudian kembali masuk ke dalam meninggalkan gue dan Johnny berdua sambil menatap Karten prihatin.

"Lo abis ini omongin ke dia gih, udah move on apa belum!"

"Lah nape?"

"Tadi dia telfon Sarah lagi tapi kayaknya dia gak sadar dah."

"Kok bisa?"

Johnny menggeleng kepalanya.

Gue hanya bisa bernafas panjang karena gue harus menggali apa yang sebenarnya Karten inginkan.

Udah beberapa kali dia mabuk dan berakhir menelefon Sarah.

Sambil menyetir membelah jalan raya yang menghubungkan Sakapatat dengan apartemen kami, gue sadar bahwa mungkin Karten sama sekali belum memutuskan untuk berpindah hati.

Walaupun sekarang ada Cita, tapi nyatanya orang yang selalu ia telfon adalah Sarah.

Sarah akan tetap menjadi orang favoritnya.

Yang menurut gue ini semua adalah level bucin yang gak bakal pernah gue lakukan.

Karten secara sadar sudah menjauhkan Sarah dari pikirannya, namun pada kenyataannya alam bawah sadarnya berkata lain.

Alam bawah sadarnya terus-menerus memanggil Sarah.

Ia akan selalu kembali ke Sarah kalau begini caranya.

Dan gue takut, semakin sering kejadian ini berlangsung, Cita akan tahu Karten yang sebenarnya.

Bukan Karten anak HIMA yang suka bolos kelas dengan alasan ada acara di HIMA.

Bukan Karten yang mengendarai Toyota Rush warna hitam pekat yang mneambah sisi maskulinnya setiap menuju ke kampus.

Dan juga bukan Karten yang setiap harinya akan menelfon Cita baik pagi, siang, sore, dan malam.

Tapi Karten yang masih belum bisa melupakan mantannya sepenuhnya setiap dirinya di bawah tekanan alkohol.

Gue akuin, usaha Karten untuk berpindah hati memang udah maksimal.

Tapi ya, siapa yang tahu isi hati masing-masing orang.

Hadeh ribet amat sih percintaan orang-orang.

Gue terlibat engga, tapi ikutan pusing.

Why'd You Only Call Me When You Are HighTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang