Sarah Arsen
People really need to see what it means by it takes two to tango.
Karena dalam suatu hubungan itu gak bisa yang namanya hanya satu orang yang berjuang atau struggle to manage the relationship.
Semua ada porsinya masing-masing untuk saling melengkapi.
Dan seinginnya gue untuk menyadarkan orang akan slogan itu, tetep aja hubungan gue sama Karten sama sekali tidak terpengaruh hal tersebut.
Kami berhenti pada titik dimana gue tahu hanya gue yang masih berusaha menyelamatkan hubungan yang sudah rusak, dulu.
Gue sadar bahwa tidak ada gunanya memperjuangkan sesuatu sendirian ketika seharusnya hal ini menjadi tanggung jawab bersama.
Apalagi dengan kejadian baru-baru ini.
Yang gue dapatkan dengan berinteraksi dengan Karten sekarang hanyalah perasaan amarah yang meluap.
Atau perasaan kesal yang tertahan.
"Sar?"
Lucas melambaikan tangannya di depan gue.
Mengira gue sedang melamun jauh.
"Kenapa?"
"Gak, lo keliatan kayak out of zone. Is something bothering you?"
Gue menggeleng pelan dan kemudian memutuskan menyedot minuman gue.
Hari ini, gue dan Lucas memutuskan untuk pergi makan keluar setelah berhari-hari Lucas meminta gue untuk menemani dia makan.
"Lo gak suka makanannya ya?"
"Oh, ini? Enggak kok. Enak semua."
"Terus lesu kenapa?"
"It's fine, just a random thought!"
Dan Lucas kemudian berhasil mendaratkan tangannya di kepala gue dan dengan mudahnya ia mengusapkan tangannya di kepala gue.
As if he's trying to make me think that everything's gonna be okay.
Lucas kemudian sama sekali gak berkata apa-apa dan hanya tersenyum.
Mendiamkan gue yang masih larut sama pikiran gue sendiri.
Mendalami berbagai hal yang sebenarnya bukan hal yang sangat krusial untuk dipikirkan sekarang.
"Cas, menurut lo, semakin kita besar semakin kita gak bisa baca perasaan orang gak sih?"
Lucas yang biasanya penuh dengan energi dan mungkin acted like firework menjadi lebih diam setelah gue tanya.
Ia bergumam lumayan lama untuk memikirkan suatu jawaban dari pertanyaan konyol gue.
"Gak usah deh, gak usah dijawab, Cas!"
"Gak, gak. Gue punya kok jawabannya!"
"Cas, it was supposed to be rhetorical so no need to answer!"
Lucas mendengus kesal mendengar gue mematahkan semangatnya untuk menjawab.
"Menurut gue kita tuh makin selektif aja sih. Mana yang mau kita pekain mana yang kita engga. It's just the matter of emphatic feeling for other people."
Gue mengangguk setuju.
Setelah gue pikir-pikir dengan penjelasan Lucas, mungkin dulu antara gue dan Karten tidak sepenuhnya kita berdua saling mendengarkan kemauan satu sama lain.
Kami berdua asyik dengan berbagai urusan kami, dan kemudian alih-alih kami mencari jalan keluar bersama, kami menggunakan cara sendiri.
Gue gak mau mendengar alasan Karten, sama juga dengan Karten dengan keras kepalanya akan pendiriannya.
"You were right."
"Well, people call me genius not for nothing?"
Gue memutar mata gue dan Lucas tertawa dengan lepas melihat gue terlihat sangat geli dengan perkataannya barusan.
Kami berdua kemudian melanjutkan menatap jalanan yang tepat di sebelah kafe kami tanpa ada komando untuk melihat jalan tersebut.
Jujur, sejauh ini gue dan Lucas memiliki banyak kecocokan hingga dalam pola berpikir.
Rasanya kadang walaupun Lucas berisik, gue bisa melihat ada satu-dua sisi gue yang ada di Lucas.
"I'm only bad at one thing."
"And that is?"
"Win your heart all over other guy."
Oh dear, Lucas really know how to talk, isn't he?
KAMU SEDANG MEMBACA
Why'd You Only Call Me When You Are High
FanfictionTips: never answer his call, especially at 2 am