18

26 3 0
                                    

Sarah Arsen

Mengakhiri suatu hubungan adalah salah satu agenda paling berat dalam hidup gue.

Bisa dibilang gue gak tahu harus mulai darimana untuk menutup buku antara gue dan Karten.

Rasanya masih ada satu-dua hal yang mungkin masih bisa dituliskan.

Atau bahkan melanjutkan cerita-cerita kami di buku selanjutnya milik kami.

Namun, gue tahu yang terjadi antara gue dan Karten adalah satu cerita buku yang sudah seharusnya kami tutup sejak lama. Bukannya dilanjutkan dan menjadikan hal ini sebuah tali rumpang yang tidak tahu bagaimana meluruskannya.

Baik gue dan Karten tidak ada yang pernah berani menutup buku tersebut.

Kami berdua enggan untuk menutup buku yang bertitelkan "Ours".

Padahal pada kenyataannya, kami memiliki buku masing-masing dan sudah seharusnya tanggung jawab kami sendiri untuk menutup buku tersebut.

Gue selalu mengira dalam suatu hubungan, ketika kami sudah menyatu lebur dalam "kita", maka hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama bagi kami.

Namun gue salah.

Suatu hubungan memang tanggung jawab pasangan yang terlibat, tapi gue harus tahu sampai batas mana tanggung jawab yang seharusnya dipikul sebagai seorang pasangan.

Tanggung jawab untuk membahagiakan pasangan kita adalah suatu bentuk usaha untuk mempertahankan dan meunjukkan bagaimana rasa sayang yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam, bisa tersuarakan dan tersampaikan ke orang-orang yang kita cintai.

Sayangnya, terkadang gue lupa bahwa untuk menjadi bahagia dan merasa cukup dengan pasangan kita, adalah tanggung jawab diri gue sendiri.

Sampai pada akhirnya, yang gue inginkan adalah menuntut diri gue dan Karten untuk saling bertanggung jawab pada eksistensi masing-masing. 

Ada sebuah sekat yang seharusnya memang tidak gue coba untuk terobos dalam hubungan gue dan Karten.

Sekat itulah yang seharusnya memberikan tanda ke gue bahwa masing-masing individu memiliki ruang pribadi yang tidak seharusnya dilewati oleh sembarang orang.

Dan adalah hak Karten untuk mempersilakan orang untuk melihat atau bahkan tinggal di dalam sekat ruang pribadinya tersebut.

Mungkin saja selama ini gue sudah menerobos sekat tersebut tanpa seizin Karten. Yang kemudian membuatnya tidak nyaman dan memutuskan membuat sekat baru lagi dengan orang lain. 

Pada dasarnya, mungkin memang kenyamanan yang selama ini dicari oleh Karten. 






"Ngelamunin apaan?"

Joan menyapa gue sambil berusaha duduk di depan gue dengan membawa satu kaleng minuman bersoda.

"Nih, free." Ia lalu menyodorkan satu kalengyang daritadi ia pegang di sisi kirinya.

"BTW, hari ini Karten sidang, kamu gak mau ke selasar?"

Gue menggeleng pelan. 

Bukan urusan gue untuk menghadiri perayaan sidangnya.

Menurut gue, sudah cukup dengan gue dan Karten bertemu 2 hari yang lalu membicarakan bagaimana seharusnya kami menutup buku kami. 

And it was quite civil. 

"Udah, ah. Ngapain juga datengin. Diliatin temen-temennya dia kalik yang ada."

"Tapi pingin, kan?"

"Yeee, kalo lo mau mah sana deh, Jo. Gak usah pake acara nungguin gue yang mau nyelametin!"

Joan tertawa tipis. 

And after all the storm, what we had is already over.

It is time for me to move on to my next chapter. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Why'd You Only Call Me When You Are HighTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang