Bagian 20

3K 221 53
                                    

Aku terlonjak, reflek tanganku memlintir tangan yang tiba-tiba mengelus rambut
"Aduuh, sayang... auww," Suamiku mengaduh sambil meringis kesakitan.

"Maaf mas," ku lempar senyum kecut.
"Mas sich, ngagetin aza." Bibirku pura-pura cemberut.

"Iya maaf, Mas yang salah, masih lamakah nunggu suratnya?"

"Sebentar lagi, banyak banget antriannya."
"Gimana Papa? Kok ditinggal?"

Sambil menarik nafas dalam-dalam Suamiku memijit pelipisnya.

"Masih di observasi, kemungkinan besar Papa kena stroke."

"Aku merasa bersalah Yank, gara-gara salahku semua jadi runyam begini."

"Ya Tuhan, bodohnya aku!"

Di tutup mukanya sambil terisak lirih, kucondongkan tubuhku mengusap pundaknya. Wajar jika dia merasa bersalah, melihat bagaimana perjuangan semua keluarga selama ini. Menjaga emosi Papa, makanannya, rutin berobat semata-mata dilakukan agar Papa tetap selalu sehat.

Dan hari ini penyakit darah tingginya harus kambuh, kami semua tidak pernah menyangka akan begini akhirnya. Angan-anganku selama ini Suamiku akan menikahi jalang itu dan nama baik keluarga akan terus terjaga. Hanya aku saja yg terluka dan semuanya akan baik-baik saja.

"Sudahlah Mas, kita pikirkan lagi nanti, yang penting sekarang kesehatan Papa."

"Aku akan berjuang Yank, tak perduli aku nama baik, pasti orang-orang di luar sana mengerti mana yang benar dan yang salah."

"Tak akan pernah kulepas kalian berdua, kalian adalah hidupku."

Diremasnya tanganku lembut, ada kesungguhan disinar matanya. Aku tak pernah meragukan kata-kata suamiku sejak dulu. Ada genangan air mata dimataku, sungguh cinta yang selama ini aku rasakan kepadanya tak pernah hilang meski dia pernah mengkhianatiku.

"I love you, mas." Kubisikkan lembut ditelinganya.

"I love you too, Sayang. Aku tak akan pernah mengecewakanmu lagi."

Panggilan nama Papa membuatku berdiri, sudah selesai semua. Aku dan Suamiku berjalan kembali keruangan periksa Papa.

Wajah-wajah lelah terlihat, Papa dan Mamaku duduk berdampingan. Kak Winda sibuk berbicara dengan Mas Rico.

Kuhampiri orang tuaku dan duduk disamping mereka.

"Mertuamu sudah di pindah di ICU, hanya Mamamu yang boleh menemani di dalam." Papa mengelus pundakku dengan lembut.

"Sabarlah dan berdo'a semoga masa kritisnya cepat terlewati." Begitulah Mama selalu memberi wejangan yang menguatkan hatiku.

"Papa dan Mama boleh pulang dulu. Maafkan aku Pah." Ucap Suamiku sambil menundukkan kepala.

"Aku ... aku mengecewakan kalian berdua."

Suamiku yang selama ini selalu tampil tegar tak kuasa menahan tangis. Tangis sedih dan malu yang ia rasakan. Selama ini orang tuaku selalu membangga-banggakan menantunya ini.

Tangis lirih Mamaku pecah lagi, padahal banyak orang berlalu lalang. Ini rumah sakit banyak kesedihan di sini jadi bukan hal memalukan bila banyak dijumpai orang yang menangis.

"Sudah ... sudah Nak, kami akan pulang dulu."

"Fokus kesehatan Papamu dulu."

Papa berdiri sambil membantu Mama berkemas, Kak Winda dan Mas Rico pun menghampiri kami.
Setelah kami berembuk, hanya Suamiku yang tinggal di rumah sakit. Kak Winda pulang dan menginap dirumahku.

PelakorWhere stories live. Discover now